Labels

Friday, December 2, 2011

Empirisme vs Rasionalisme


Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, dan “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.


Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, bukan akal.

Aliran ini bermula dari penolakan mereka atas dominasi logika Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu, gelora Renaissance di daratan Eropa menginspirasi Dataran Britania Raya sampai ada istilah sendiri yaitu Enlightment (pencerahan).

Tokoh – tokoh empirisme yang terkenal antara lain, Francis Bacon (1561–1626), Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632–1704), George Berkeley (1685–1753), dan David Hume (1711–1776)

Empirisme adalah suatu aliran dalam metode ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman semata. Ilmu pengetahuan yang sejati adalah yang inderawi, yang terjadi dan ada secara nyata. Aristoteles (384-322 SM) adalah filsuf Yunani yang sudah terlebih dahulu menganut metode pengetahuan ini, jauh sebelum Francis Bacon, yang dikenal sebagai perintis empirisme. 

Aristoteles bertolak dari ajaran gurunya, Plato, yang menganut paham idealis – utopianis. Demikian juga Hobbes, Locke, Berkeley dan Hume, dalam hal mencetuskan metode berpengetahuan berdasar empirisme, bertentangan dengan metode rasionalisme, Rene Descartes. 

Menurut Bacon, metode yang benar ialah mengamat-amati alam semesta tanpa prasangka, setelah itu menetapkan fakta-fakta berdasarkan percobaan-percobaan yang berkali-kali dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Pemikirannya tersebut kemudian melahirkan metode ilmiah. Bacon juga beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.

Bacon telah meletakkan dasar-dasar bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diusahakan melalui pengamatan, eksperimen-eksperimen dan penyusunan fakta-fakta. Bacon telah berhasil mempelopori di bidang metode penilitian sedangkan yang telah berhasil menyusun suatu sistem yang lengkap adalah Thomas Hobbes.

Ia berpangkal kepada eksperimen secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern. Materilisme yang dianut Hobbes yaitu bahwa segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi yang dimaksud ialah segala sesuatu yang tidak tergantung kepada gagasan kita. Segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karena keharusan. Seluruh realitas bersifat bendawi, yaitu yang tidak tergantung kepada gagasan kita terhisap di dalam gerak itu. Dengan demikian maka pengertian substansi diubah menjadi suatu teori aktualitas. Segala objektivitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki “ada” sendiri. Ruang adalah gagasan tentang hal yang berada itu sendiri. Waktu adalah gagasan tentang gerak.

Empirisme dalam pandangan John Locke, semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan atau refleksi dan sensasi. Lockemenentang teori rasionalisme yang mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari  pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula akal serupa dengan kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. 

Satu-satunya sasaran atau objek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau idea-idea yang timbulnya kerena pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman batiniah (reflection). Pengalaman lahiriah mengajarkan kepada kita tentang hal-hal diluar kita, sedang pengalaman batiniah mengajarkan tentang keadaan psikis kita sendiri.

Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerjasama antara sensasi dan refleksi. Dimulai haruslah dari sensasi, sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih. Barulah kemudian refleksi sebagai pemenuhnya.

Empirisme selanjutnya datang dari seorang uskup Anglikan berkebangsaan Irlandia bernama George Berkeley. Dalam risalahnya mengenai prinsip – prinsip dasar pengetahuan manusia,  Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), manusia melihat alam merupakan bahasa atau tulisan tangan Tuhan. Menurutnya, empirisme selanjutnya akan disebut subjektif idealisme.
Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof Empirisme lainnya menganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti, “tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada data-data inderawi”.

Menurut Hume, dalam budi kata tidak ada suatu ide yang tidak sesuai dengan impression yang dikarenakan “hal” di luar kita. Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman. “Hal” nya sendiri tak dapat kita kenal, hanya mendapat impression tersebut. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita adalah sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut.

Substansi itu hanya anggapan (khayalan), sebenarnya tak ada. Penyebab kita mempunyai pengertian tentang sesuatu yang tetap (substansi) itu, tidak lain karena adanya perulangan pengalaman, sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal, tetapi sebetulnya tidak demikian.

Begitu pula pengertian lainnya yang tetap dan umum semuanya tak ada halnya. Kita tak mengetahui kesebaban, yang kita kenal hanya urut-urutan kejadian, misalnya : pukulan dan kemudian kita rasa sakit. Oleh karena itu, kita kerap kali merasa sakit setelah ada pukulan, kemudian ada asosiasi antara pukulan dan sakit mengatakan bahwa yang menyebabkan sakit itu pukul. Namun sebenarnya tidak demikian. Itu hanya anggapan kita saja.

Sebagai tokoh empirisme, Hume tidak mengakui hukum sebab akibat (kausalitas). Dalam hukum kausalitas pada umumnya ada anggapan bahwa penyimpulan dari masalah-masalah yang nyata didasarkan kepada hubungan sebab akibat. 

Hubungan sebab akibat, menurut Hume, didapatkan berdasarkan kebiasaan dan harapan belaka dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu sama lain. Orang sudah terbiasa di masa lalu melihat peristiwa matahari terbit di Timur selalu diikuti oleh peristiwa tenggelam di Barat dan ia akan mengharapkan peristiwa yang sama terjadi di masa yang akan datang. 

Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat apriori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume, itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara aposteriori.

Rasionalisme
Secara etimologis, rasionalisme berasal dari kata rationalism (bahasa Inggris), yang merupakan akar dari kata ratio (bahasa Latin) yang berarti “akal”. Menurut A.R. Lacey, rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.

Para tokoh rasionalisme, pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18, terdapat nama-nama seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert.

Pokok pemikiran Descartes (31 Maret 1596 - 11 Februari 1650) adalah bahwa akal merupakan satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Di dalam buku Discourse on Method, dia mencoba untuk sampai pada pokok dari suatu asas atau pemikiran dasar. Untuk menerima itu, dia menggunakan sebuah metode keraguan atau “dubium methodicum”. Dia menolak semua pemikiran yang bisa diragukan, termasuk eksistensinya sendiri, diragukan pula olehnya. Selanjutnya, dia membangun kembali pemikiran itu untuk mendapatkan dasar yang kuat untuk pengetahuan yang murni. Pada awalnya, Descartes sampai pada satu prinsip dasar, yaitu berpikir ada. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia pun ada. Ungkapan ini lebih dikenal dengan cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.

Descartes berpandangan bahwa segala yang inderawi dapat menipu, dengan kata lain tidak bisa dipercaya. Misalnya, sebuah sedotan yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air. Sedotan tersebut nampak bengkok, namun kenyataannya sedotan tersebut masih lurus – lurus saja. Oleh karena itu, kaum rasionalis berpendapat bahwa kebenaran maupun ilmu pengetahuan yang sejati adalah yang berdasarkan pemikiran, penalaran dengan akal sehat (rasio).
 


Sumber :
(http://gmnifia.multiply.com/journal/item/16/Filsafat_Empirisme)
(en.wikipedia.org/wiki/Empiricism)
(http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/56/54)
(http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/26/rasionalisme-empirisme-dan-kritisisme/)

No comments:

Post a Comment