Labels

Sunday, December 28, 2014

Novel Korea [Terjemahan]: 18 vs 29

18 vs 29
Kiri: Novel Terbitan Qanita
Kanan: Serial TV
Judul: 열여덟 스물아홉 (18 vs 29)
Penulis: Ji Su-Hyun
Cetakan: Ketiga, Oktober 2013
Tebal: 314 halaman
ISBN: 978-602-9225-85-3
Penerbit: Qanita [PT Mizan Pustaka]

Setelah menikah 2 tahun, tiba-tiba saja Yoo Hye Chan meminta cerai dari suaminya, Kang Sang Yeong. Alasannya sederhana, karena ia muak dikatai sebagai penyihir. Julukan yang ia dapatkan gara-gara popularitas suaminya sebagai aktor tampan nomor wahid di Korea Selatan. 

Sang Yeong sendiri kebingungan akibat ulah istrinya. Bagaimanapun alasan Hye Chan tidak masuk akal baginya. Namun Hye Chan tetap berkeras ingin pisah, bahkan ingin melupakan namanya.

Dalam perjalanan menuju pengadilan, Hye Chan menyetir sambil membayangkan masa lalunya dengan Sang Yeong. Sampai tiba-tiba seorang anak kecil lewat di depan mobilnya. "Astaga!" Hye Chan berusaha membanting setir. Ia bersyukur peristiwa itu dapat dihindari. Tapi sayang, ia tidak dapat menghindari pohon besar di ujung jalan. 

"Apa kau bisa hidup tanpaku?" itulah kata terakhir Sang Yeong yang terngiang di benak Hye Chan sebelum ia hilang kesadaran sepenuhnya.  (hlm. 15)

Kala itu Sang Yeong sedang syuting. Teleponnya berdering. Tak lama setelah mengangkat telepon, wajah Sang Yeong menjadi tegang. Kemudian Sang Yeong pergi meninggalkan lokasi syuting begitu saja. Ia berlari mencegat taksi segera setelah mendengar Hye Won, adik iparnya mengabarkan bahwa kakaknya kecelakaan.

Sesampainya di rumah sakit, Sang Yeong kesal melihat Hye Chan tidur dengan pulas. Dia merasa seperti orang bodoh karena sudah meninggalkan lokasi syuting dan berlari secepat kilat ke rumah sakit. Rasanya ia ingin membangunkan istrinya yang sedang mendengkur itu. Namun, Hye Chan siuman sebelum ia sempat melakukannya. (hlm. 17)

Ketika istrinya bangun, alih-alih marah mendengar setiap ocehan ketus Sang Yeong. Hye Chan memandanginya dengan wajah bodoh dan berkata, "Maaf, Paman ini Siapa ya?"

***


Diadaptasi dari novel internet "4321 Days We Shared", novel ini mengisahkan tentang kehidupan pernikahan Hye Chan dan Sang Yeong yang tengah kandas. Namun sebuah kecelakaan yang merenggut 11 tahun terakhir ingatan Hye Chan membuka kesempatan untuk memperbaiki hubungan pernikahan mereka.

Pada tahun 2005, novel ini sudah difilmkan dengan judul yang sama (18 vs 29). Yoo Hye Chan dimainkan oleh aktris Park Sun Young. Sementara Kang Sang Yeong dimainkan oleh aktor Ryu Soo Young. Dengan beberapa perubahan alur cerita di sana-sini.

Drama komedi percintaan semacam ini memang menjadi andalan Korea Selatan. Alur cerita sehari-hari yang dikisahkan secara dangkal kalau dibandingkan dengan literatur sastra. Dimana permasalahan diselesaikan dengan amnesia, melupakan kejadian buruk untuk kemudian rekonsiliasi dengan orang yang dibenci. 

Alur cerita mudah ditebak, walau ada sedikit kejutan di akhir cerita soal jati diri Ji Won. Aktris cantik yang terang-terangan menempel pada Sang Yeong, meskipun ia tahu pria pujaannya itu sudah menikah. Beberapa adegan terkesan terlalu didramatisir alias tidak masuk akal. Bisa jadi karena penggambaran latar tempat kurang deskriptif.

Versi dramanya menyajikan alur yang lebih logis. Bagaimana kisah tidak hanya berputar pada perbaikan hubungan pernikahan Sang Yeong dan Hye Chan. Kisah sampingan yang realitis seperti daya pikir Hye Chan yang kekanak-kanakan, tagihan utang yang perlu dibayar Hye Chan -yang tentunya tidak sanggup ia bayar, karena merasa masih 18 tahun dan belum bisa mencari uang. Ada juga momen ketika Hye Chan sangat terkejut dan sedih saat mengetahui bahwa ibunya sudah meninggal. Bagaimana orang-orang disekitar memandangnya. Bagaimana gadis 18 tahun memantaskan diri dan bersosialiasi dengan orang-orang yang lebih tua darinya? Perbedaan teknologi antara tahun 90-an dan era milenium yang harus Hye Chan hadapi, serta pekerjaan Sang Yeong sebagai aktor yang terbengkalai demi menjaga sang istri yang hilang ingatan, semua celah ini lebih tergambar nyata dalam versi dramanya. Penulis sayangnya kurang mampu menggali sisi-sisi menarik dari situasi unik yang dialami tokoh utamanya.

Namun, patut diakui bahwa penokohan dalam novel jauh lebih kuat dan konsisten dibanding serial TV-nya. Terutama sangat terlihat pada karakter Sang Yeong atau Kang Bong Man (di serial TV), yang mana karakter cool-nya lebih mengena di novel daripada serial TV. Pengemasan tokoh-tokoh dalam novel cenderung sederhana, hampir semua karakter berwatak protagonis. Berbeda dengan versi dramanya yang memuat lebih banyak konflik.

Naruto Sad Soundtrack Collection [COMPLETE]



One hour Full Instrumental
yang asyik didengarkan saat menghayati kesedihan, kepedihan dan kesendirian. Selamat bersedih-ria, kawan.

Friday, December 26, 2014

Jalan Kebahagiaan Buddha a.l.a. Bule Monk Ajahn Brahm

Cover Buku Horeee! Guru Si Cacing Datang
Judul: Horeee! Guru Si Cacing Datang
Penulis: Hendra Widjaja
Cetakan: Pertama, Januari 2010
Tebal: xiii+367 halaman
ISBN: 978-602-8194-37-2
Penerbit: Awareness Publication
 

Jika Anda pernah membaca buku "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya", Anda pasti tidak asing lagi dengan sosok bhikkhu bule bernama Ajahn Brahm. Kali ini ia hadir dalam buku Horeee! Guru Si Cacing Datang. Namun bukan sebagai penulisnya, melainkan sebagai tokoh sentral yang kunjungan ceramah dhammanya dijadikan tauladan.

Hendra Widjaja dalam buku ini berperan sekaligus sebagai panitia penerjemah selama kunjungan Ajahn Brahm dalam Tour de Indonesia 2009. Dengan memanfaatkan catatan ceramah Ajahn Brahm selama 8 hari kunjungannya di 6 kota di Indonesia, Hendra Widjaja mengupas tuntas sosok Spiritual Buddhist ini dari dekat. Tentunya dengan segala ketauladanan beliau.

Buku ini dibuka dengan kumpulan lelucon dan cerita favorit yang acapkali digunakan Ajahn Brahm selama membawakan ceramah dalam acara Tour de Indonesia 2009 ini. Antara lain kisah tentang perempuan yang mengalami derita perempuan menikah dan saudarinya yang mengalami derita perempuan lajang. Karena mereka sedemikian tidak puas dengan kondisi masing-masing, Ajahn bergurau dan meminta mereka "Tukar Posisi Saja." (hlm. 7) Ia juga senang mengambil perumpamaan "Ayam atau Bebek?" bagi pasangan yang sering mempertengkarkan hal-hal yang sepele. Bunyinya "kwek...kwek..kwekk.." belum tentu bebek. Bisa saja itu ayam yang dimodifikasi secara genetik. Jadi, jangan menganggap diri selalu benar. Dengan demikian kita bisa hidup bersama dengan bahagia tanpa mempertengkarkan hal-hal yang sepele. Itulah maksudnya pernikahan, kita belajar untuk hidup rukun dan damai. (hlm. 19)

Selanjutnya, bab-bab dalam buku ini dibuat secara kronologis mulai dari hari kedatangan Ajahn Brahm di Jakarta (hari ke-1), ceramah di Palembang (hari ke-2), Sukabumi (hari ke-3), Jakarta (hari ke-4), Medan (hari ke-5), Surabaya (hari ke-6), dan Denpasar (hari ke-7) sampai hari kepulangan Ajahn Brahm (hari ke-8).

Sinopsis
Rangkaian acara ceramah Dhamma Si Guru Cacing di Indonesia diadakan sejak 25 Februari sampai 4 Maret 2009. Kunjungan dhamma Ajahn Brahm sekaligus terkait peluncuran buku barunya yang berjudul "Hidup Senang Mati Tenang". Buku ini berisi kumpulan ceramah dan tanya jawab dengan beliau dari seluruh penjuru Bumi. Di Indonesia, buku ini diterbitkan oleh penerbit Ehipassiko.

25 Februari 2009, hari pertama kedatangan Ajahn Brahm disambut dengan antusias oleh Ashoka, Handaka dan Edy selaku panitia penyelenggara acara, sampai-sampai mereka lupa untuk berfoto. Bagi Ajahn Brahmavāṃso Mahathera, ini adalah kali ketiga kedatangannya ke Indonesia sekaligus yang terlama. Sementara bagi panitia, ini adalah kali pertama mereka menerima kedatangan sang bhikkhu sehingga persiapannya terasa agak kikuk. Contohnya ketika esok paginya Handaka menanyakan, "apakah semalam Ajahn Brahm tidur dengan nyenyak?" Di luar dugaan, Ajahn Brahm menjawab, "no..." Jawaban itu mengejutkan Handaka. Ketika ditanya alasannya, ternyata karena suara jam dinding di rumah Pak Karim yang terus berdetak tepat di balik dinding kamar Ajahn Brahm. Maklum, wihara hutan Ajahn Brahm di Perth memang sunyi dan bebas suara. Jadilah beliau sangat sensitif terhadap suara. (hlm. 25-26)

26 Februari 2009, pada hari kedua ini, Ajahn Brahm terbang ke Palembang. Selain untuk berceramah dhamma, bhikkhu pemilik nama asli Peter Betts ini juga dijadwalkan untuk membesuk Bhante Vajragiri dan memenuhi undangan wawancara Majalah Gema Dharmakirti. Melalui kisah di hari kedua ini, panitia mulai menyadari bahwa Ajahn Brahm ternyata sosok yang humoris. Contohnya saat membesuk Banthe Vajra, Ajahn Brahm menanyakan apakah Bhante Vajra tahu bedanya kangguru Kristen dan kangguru Buddha? Banthe Vajra pun menggeleng. Sambil menahan tawa, Ajahn Brahm menjawab, "kangguru Kristen itu seperti ini," seraya sambil menekuk kedua lengan dan tangannya di depan dada menirukan postur kangguru. "Tapi, kangguru Buddha itu seperti ini," katanya sambil mengatupkan kedua tangannya dalam sikap añjali. Otomatis orang-orang yang mendengarnya tertawa terpingkal-pingkal. (hlm. 35-36)

27 Februari 2009, dalam perjalanan ke Sukabumi terlihat sebuah foto Ajahn Brahm yang tengah mempromosikan menu makanan Sunda. (hlm. 88) Ajahn Brahm memang tidak pernah menolak untuk di foto. Sosok, yang menurut penulis selalu berusaha menyenangkan orang lain semampunya. Bahkan dalam setiap sesi tanda tanganpun, ia tidak pernah mengeluh dan selalu menunjukkan senyum khasnya, senyum lebar dua jari. 

28 Februari 2009, Ajahn Brahm kembali ke Jakarta. Umat yang datang untuk mendengarkan ceramah Ajahn membeludak, sampai-sampai ceramahnya diadakan dua kali. Siang hari di Plaza Sentral, Markas Besar BFI (Buddhist Fellowship Indonesia) dan malam harinya di The Golf, Pantai Indah Kapuk. Seperti yang sudah-sudah, Beliau memperkenalkan agama Buddha sebagai agama kebahagiaan. Dalam kisahnya tentang "Survei Agama di Swedia", Ajahn Brahm menjelaskan bagaimana agama Buddha ini menjadi populer di dunia barat. Agama Buddha, menurutnya sama dengan ilmu psikologi hebat. Melalui kisah "Memengaruhi Orang Tanpa Ketahuan", Ajahn Brahm menjamin bahwa umat Buddha tidak perlu khawatir. Dalam bisnis maupun hidup, jika kita benar-benar tahu cara untuk bijaksana, cara memanfaatkan psikologi dan kebaikan, kita akan terperanjat akan betapa luar biasanya kita bisa berhasil. Demikian tegas murid kenamaan dari Bhikkhu Thailand Ajahn Chah ini.

1 Maret 2009, keluarga Pak Karim sekali lagi mengantarkan Ajahn Brahm beserta panitia ke Bandara Soekarno-Hatta. Kali ini untuk kunjungan dhamma ke Medan. Dalam kesempatan ini, Ajahn Brahm kembali menegaskan bahwa inti ajaran Buddha adalah 4 kebenaran mulia. Keempat kebenaran mulia yang dimaksud ialah penderitaan, sumber penderitaan, berakhirnya penderitaan dan jalan menuju berakhirnya penderitaan. Namun sayang, jika pengajaran inti agama Buddha dimulai dari kata "penderitaan", orang-orang menjadi tidak tertarik untuk mendengarkan. Jadi, pengajaran inti agama Buddha ini dibalik urutannya oleh Ajahn Brahm. Dimulai dari Kebenaran Mulia ketiga, yakni berakhirnya penderitaan, yang dengan kata lain berarti kebahagiaan. Dilanjutkan dengan sumber kebahagiaan (Kebenaran Mulia kedua), faktor-faktor penyebab kita terkadang tidak bahagia (Kebenaran Pertama), terkahir adalah sumber ketidakbahagiaan kita (Kebenaran kedua). "Sistem pengajaran semacam ini di Australia kita sebut sebagai teknik pemasaran (marketing)," tutur Ajahn Brahm. (hlm. 227)

2 Maret 2009 di Surabaya, Ajahn Brahm mengenalkan meditasi sebagai jalan kebahagiaan. Agar mudah dimengerti, Ajahn Brahm mengajarkan meditasi seperti ini. "Saya mengangkat segelas air dan berkata, "seberapa beratnya segelas air ini?" Semakin lama saya pegang, semakin berat rasanya. Kalau saya memegangnya terus menerus selama 5 menit, lengan saya mulai pegal. Kalau saya pegang terus menerus selama 10 menit, saya mulai merasa kesakitan. Kalau saya pegang terus-menerus selama setengah jam, saya akan kesakitan sekali, sekaligus menjadi seorang bhikkhu yang sangat dungu! Jadi kalau sudah terasa terlalu berat, apa yang perlu dilakukan? Letakkan saja! Benar, itulah meditasi: taruh, letakkan. Masalah tidak perlu kita buang, letakkan saja selama beberapa menit. Dan 2-3 menit kemudian, ketika kita angkat lagi rasanya lebih ringan." (hlm. 265-266)

Menurut Ajahn Brahm, meditasi intinya adalah melepas. "Yang paling penting dalam meditasi bukanlah objek meditasi itu sendiri. Tidak penting apakah kita bermeditasi terhadap napas di dalam tubuh kita, terhadap kembang-kempisnya perut, melakukan satipaṭhāna. ... Anda jangan bermeditasi untuk memperoleh sesuatu. Anda bermeditasi untuk melepas. Bukan untuk memegang lebih banyak hal, untuk mendapatkan lebih banyak masalah, tetapi untuk meletakkannya, untuk melepas." (hlm. 276)

Yang kedua, tambahnya, "Anda harus bermeditasi dengan kebaikan bukan dengan niat buruk. Yang ketiga, bermeditasilah dengan lembut. Banyak orang bermeditasi sambil berperang dengan batinnya. Mereka sangat agresif, berusaha untuk menaklukkan pikirannya sendiri. Kekerasan seperti ini tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran Buddha. Jadi, bersikaplah lembut seperti Buddha." (hlm. 276)

Ceramah Dhamma terakhir Bhikkhu yang senang bergurau, "I'm bule monk, I prefer bule food" ini diadakan di Denpasar, Bali. Tiba di Bandara Ngurah Rai, Handaka berkomentar pada Ajahn Brahm, "Ini adalah Pulau Bali yang dikenal juga sebagai Pulau Dewata." Ajahn Brahm menukas, "Bukan, ini adalah Pulau Brahma, pulau Brahmavāṃso. Ha-ha-ha..." (hlm. 285)

Di samping catatan perjalanan dan ceramah dhamma Ajahn Brahm, buku ini juga menyajikan kesimpulan dari kesantunan perilaku dan perkataan sang bhikkhu menurut pengamatan penulis dalam bab Trivia. Mulai dari lelucon khas Ajahn Brahm, kata "very good" yang selalu ia ucapkan, senyum lebar dua jari dan kebiasaan-kebiasaan Ajahn Brahm terangkum jelas dalam Trivia. Selain itu, penulis juga memuat tentang suka duka, kualifikasi serta tips dan trik menjadi penerjemah sebagai bahan evaluasi kepanitiaan Tour de Indonesia mendatang.

Secara keseluruhan, buku ini disajikan dengan penyusunan yang apik atas setiap subbab-nya. Untuk menghindari pengulangan, misalnya, lelucon dan kisah favorit ditaruh lebih awal. Sesi tanya jawab yang berupa dialog juga disajikan secara gamblang, sesuai dengan sub tema ceramah. Menarik rasanya bagaimana sosok yang sedang digandrungi peminat buku Buddhist ini diceritakan secara rinci berdasarkan kebiasaan, respon dan cara interaksinya di luar ceramah. Di samping itu, sesi tanya jawab yang bukan saja berasal dari peserta tetapi juga dari panitia, juga menjadi masukan, dorongan dan pengajaran yang berharga bagi umat Buddha yang membacanya.

Bahasa penulisan yang terlalu santai, sayangnya mengurangi nilai kebakuan buku ini. Seolah buku ini hanya ditujukan bagi pembaca muda. Isi ceramah Dhamma yang dikisahkan berulang-ulang juga terasa agak membosankan. Dan bagaimanapun, kental sekali terasa kekaguman penulis terhadap tokoh yang diceritakan, sehingga mengurangi aspek objektivitas penulis. Namun begitu, penulis sudah menyajikan catatan yang jujur dan terbuka mengenai kepanitiaan dan kisah dibalik layar roadshow Ajahn Brahm di Indonesia.