Labels

Sunday, June 23, 2013

BELENGGU KEBEBASAN

Merupakan sebuah fakta bahwa kini perempuan memiliki kebebasan dalam menggapai cita-citanya, setara dengan lelaki. Perempuan boleh bersekolah, bekerja di luar rumah dan berkarir hingga ke jenjang politik sekalipun. Persis seperti yang diidam-idamkan tokoh emansipasi kita, R.A.Kartini. 
 
Pada masa Kartini, perempuan di Indonesia selalu dihubung-hubungkan dengan segala tetek-bengek rumah tangga. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk memilih sekehendak hati mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa perempuan Indonesia tidak memiliki kebebasan sama sekali. Segala sesuatunya ditentukan orangtua atau orang yang lebih dewasa. Tidak hanya dalam hal pendidikan dan perilaku, jodoh pun ditetapkan orangtua.

Mimpi Kartini, sekaligus hal yang paling ia perjuangkan ialah terpenuhinya hak perempuan terutama dalam hal pendidikan yang setara dengan kaum lelaki. Lebih dari itu ialah hak-hak asasi perempuan dan kebebasan memilih bagi kaumnya. 

Sudah tercapaikah cita-cita beliau? Dalam hal pendidikan, ya, sudah tercapai walaupun belum merata. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan ialah keabsahan makna kebebasan yang ingin diperjuangkan Kartini. Sudahkah perempuan Indonesia memperoleh kebebasan seutuhnya? Bagaimanakah definisi kebebasan itu?

Emansipasi perempuan, maksudnya ialah penyetaraan, persamaan hak dan derajat antara kaum perempuan dan lelaki dalam pelbagai aspek, terkecuali hal-hal kodrati. Bicara emansipasi erat kaitannya dengan kebebasan. Kebebasan menggambarkan kondisi yang merdeka, terlepas dari kungkungan serta kemandirian. Kebebasan berarti tidak ada batasan.

Namun apa, kenyataannya dalam kebebasan itulah perempuan menjadi budak. Mereka bebas bekerja, tetapi mereka masih terbatas. Kata bebas bukanlah hal yang tepat. Mereka boleh bekerja atau harus bekerja?

Semua Demi Anak


Herni, misalnya, buruh rumah tangga berusia 41 tahun. Tubuhnya kecil, berkulit sawo matang seperti orang Jawa pada umumnya. Namun demikian, kedutan lengan dan betisnya kencang tak melambai. Maklum, sehari-hari ia melatih otot tangannya dengan mencuci dan menggosok, serta menyapu dan mengepel lantai.

Dari kampungnya di Salatiga, Herni pertama kali berangkat ke Jakarta sekitar 20 tahun yang lalu. Hanya lulusan SD, ia berjuang menjalani usia produktifnya dengan bekerja sebagai buruh pabrik plastik di daerah Jembatan dua (kini menjadi area ruko yang dikenal dengan nama Permata Kota). Di sanalah ia bersua dengan pujaan hatinya, yang kini telah membuahinya 2 orang anak bernama Nila Alviani (21) dan Harry Angga Pinanggi (18).

Sayang, baru setahun masuk, pabrik tempatnya bekerja bangkrut. Herni pun terpaksa kehilangan pekerjaan. Ia kembali ke kampung dan mengenalkan kekasihnya, hendak menikah. Ayahnya menentang. Kala itu ibunya sudah meninggal hingga tak satu orang pun mendukung pilihannya.

Herni kembali ke Jakarta. Tanpa penghasilan, Herni tidak mampu membayar sewa kontrakan lagi. Jadilah ia menumpang di rumah kekasihnya. Walau tanpa restu, Herni dan calon suaminya tetap melangsungkan pernikahan di Indramayu, kampung suaminya. Hingga anak kedua lahir, barulah sang ayah merestui hubungan mereka.

13 tahun menikah, Herni hidup bergantung pada suaminya sebagai pencari nafkah tunggal. Naas, sejak suaminya kehilangan pekerjaan tetap dan berpenghasilan serabutan, perlakuan suaminya mulai berubah. Dipicu beban yang berat dan pergaulan yang buruk. Minuman keras sering kali menjadi pelariannya. Kehidupan rumah tangga Herni mulai memburuk. Keduanya jadi sering bertengkar. Gosip-gosip miring pun beredar. Kemudian, suaminya tiba-tiba menikah lagi. Kecewa dan takut ditinggalkan mendorong Herni mencari biaya tambahan demi menghidupi diri dan kedua buah hatinya.

“Mau bagaimana lagi? Ini semua untuk anak,” ujarnya.

Setiap hari, Herni bangun pukul 5. Selepas shalat shubuh, ia bersiap-siap dan pergi ke pasar. Herni selalu datang tepat waktu. Pukul 08.00 hingga pukul 12.00, ia melakoni profesinya. Mencuci, menggosok, menyapu dan mengepel 2 rumah. Kerjanya cekatan, cepat dan rapi. Peluh keringat tidak menjadi pematah ara. Masih dengan senyuman ia menyapa pemilik rumah atau sekadar pamit pulang.
Sesampainya di rumah, Herni tidak lantas beristirahat. Bagaimana pun, Herni adalah seorang ibu rumah tangga. Sebelum anak-anaknya berangkat kerja dan kuliah, ia masih harus menyiapkan makanan. Pukul 15.00 barulah ia kembali bekerja. 3 rumah setiap harinya. Pekerjaannya memang memaksa Herni bekerja 7 hari dalam seminggu. Pasalnya, majikan-majikannya akan kelimpungan jika ia tidak masuk. Misalnya, pakaian kotor yang menumpuk.

Ya, Herni hanyalah salah satunya. Masih banyak Herni-Herni lain di luar sana. Faktanya, kini setiap perempuan memainkan peran ganda. Mereka adalah seorang istri yang melayani suami, ibu yang mengurusi rumah tangga dan mengasuh anak, serta pencari nafkah bagi keluarga.


Kesimpulan
Pasca era Kartini, perempuan Indonesia boleh dikatakan bebas. Namun kebebasan tidak sesederhana itu. Perempuan Indonesia masih dibebani urusan dapur. Masyarakat kita masih saja berpandangan bahwa perempuan harus bisa memasak dan mengurus rumah tangga. Pandangan itu baik adanya, asal tidak memaksa.

Beban dan tanggung jawab perempuan meningkat seiring tuntutan jaman. Kebutuhan akan pemenuhan ekonomi semakin meningkat. Selain mengurus rumah, ada saja orang-orang yang berdalih bahwa perempuan seharusnya juga bekerja. Bantu suami nafkahi keluarga. Berdiam diri di rumah dianggap pemalas.

Ketika kebebasan itu diperoleh, sifatnya hanya permisif. Kebebasan yang ada haruslah diiringi tanggungjawab. Dan tanggungjawab memberi kita batasan-batasan. Kebebasan yang bertanggungjawab ialah kebebasan yang semu. Namun kita masih diberi pilihan. Itulah yang mungkin menjadi tonggak kemajuan kaum perempuan, yakni keterbukaan terhadap pilihan hidup.

Takjub pada Anak Didik Sekarang


kouzinet.blogspot.com


Seiring berlalunya waktu, era teknologi dan informasi menjadi tuntutan bagi segenap umat manusia untuk lebih produktif dan serba mampu. Adaptasi dan persaingan menjadi alasan memobilisasi diri sejak usia dini.

Orang-orang yang lebih dulu lahir, lebih dulu mengenyam pendidikan. Era pendidikan mereka yang tanpa disertai kemudahan akses informasi menjadi suatu kebanggaan bahwa era mereka lebih keras. Mereka lebih merasa mandiri dan bermental baja. Sayangnya, umur nampaknya menumpulkan ingatan kita bahwa era satria baja hitam sudah lewat.

Bukan maen, anak-anak jaman sekarang. Dunia berputar dan mereka tak terhuyung-huyung. Mereka bereaksi namun tak larut. Waktu terus berjalan, peristiwa demi peristiwa terjadi tanpa pernah mereka alami. Namun anak-anak ini terlahir, telanjang dan tanpa pilihan. Apalah yang dapat mereka lakukan, selain berjalan, berlari, mengejar ketertinggalan mereka? Biarlah mereka terbang sejauh kenyataan terbaur dalam khayal mereka.

Creative Writing-Dutasia


Creative Writing-Dutasia


Creative Writing-Dutasia




Creative Writing-Dutasia

Media Sosial = Media Warga

Jurnalisme warga atau Citizen Journalism sesungguhnya bukanlah fenomena baru dalam dunia pewartaan. Sejak media elektronik yang mampu merekam gambar (video) semakin marak, orang-orang mulai memanfaatkannya untuk memperoleh rekaman kejadian-kejadian menarik. Hanya saja, dulu orang-orang ini belum memiliki media yang kece untuk memublikasikannya sendiri. 

Video-video atau foto amatir hanya bisa dipublikasikan melalui media penyiaran professional, dikirim ke redaksi yang bersangkutan, baik media cetak maupun elektronik. Di radio Sonora misalnya, ada program khusus yang menyediakan peluang bagi warga pengguna lalu lintas untuk secara sukarela melaporkan langsung kondisi lalu lintas tempatnya berada.

Namun memang teknologi internet kemudian memicu ledakan pemberitaan-pemberitaan amatir yang pelakunya kita kenal sekarang sebagai jurnalisme warga. Di Indonesia, fenomena ini dimulai sejak peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004. Peristiwa yang meluluhlantahkan wilayah Aceh dengan cepat ini tidak sempat direkam oleh para professional. Dan merupakan peristiwa yang tidak dapat direka ulang pula. Apalagi terhitung posisinya cukup jauh dari ibukota sehingga jauh pula dari kantor-kantor berita pusat. Di sinilah para warga setempat yang mengalami kejadian tersebut secara langsung dan mampu menyaksikannya tanpa terhanyut berperan. Menggunakan kamera dengan resolusi seadanya, mereka merekamkan bagaimana persisnya kronologis kejadian naas ini boleh disaksikan seluruh orang di dunia.

Jurnalisme Warga vs Profesionalitas
Jurnalisme warga maksudnya adalah orang-orang non-profesional, dalam dunia jurnalistik yang secara berkesinambungan mengunggah informasi-informasi menarik yang punya nilai berita melalui media-media pewartaan pribadi, seperti media sosial dan blog. 

Patut kita ketahui bahwa tidak semua informasi yang beredar di media online mengandung kebenaran atau merupakan realita yang terkonfirmasi. Berbeda dengan media kovensional yang beritanya melalui proses seleksi oleh editor, berita di media online dapat ditulis oleh siapa saja tanpa memerlukan keahlian dalam bidang tulis-menulis. Hal inilah yang masih menjadi poin plus bagi masyarakat mengenai jurnalistik professional. Dan di samping itu juga semakin menuntut masyarakatnya semakin cerdas bermedia, cermat dalam memilah mana berita yang kredibel mana yang abal-abal dan cerdas juga menanggapi pemberitaan yang ada.

Pewarta masyarakat atau jurnalisme warga ini contohnya terjadi dalam akun – akun jejaring sosial seperti twitter, facebook dan blog. Jika kita masih ingat, kasus KPK vs POLRI beberapa waktu lalu. Bagaimana mungkin di luar gedung KPK tiba – tiba sudah ada barikade yang menjaga pada pagi buta, pukul 1? Pada masa lampau hal tersebut tidak mungkin terjadi. Jika ada pengepungan atau aksi terobos oleh aparat kepolisian, apalagi pada jam orang tertidur lelap, tewas sudah, terlancarkan sudah aksi polisi tersebut. Namun, kini hal tersebut dapat terjadi karena adanya internet, media sosial, media online, jejaring sosial seperti twitter.

Kemudian masih melekat dalam ingatan kita adalah banjir di Jakarta pada Kamis, 17 Januari 2013 lalu. Terendamnya jalan-jalan protokol Jakarta, seperti Bundaran HI, Daan Mogot dan Grogol, diketahui publik melalui update status dan Twitpic di Twitter. Ada juga peristiwa pengeboman mengenaskan dari Boston yang bisa kita saksikan melalui Youtube. Saya pun menerima berita tersebut pertama kali dari Facebook. Beberapa akun institusi maupun pribadi meng-update-status “pray for Boston” sehingga saya tertarik mencari tahu. Terakhir adalah berita kematian Taufik Kiemas yang juga saya ketahui dari twitter alih-alih TV maupun media online. Pasalnya, sebelum mem-posting berita untuk medianya, tak jarang para jurnalis profesional pun lebih mengutamakan update status di akun jejaring sosial maing-masing.

Mengisi Kekosongan
Begitu banyak peristiwa dari seluruh penjuru dunia. Profesi kewartawanan tidak menjamin keterjangkauan menyeluruh bahkan di jaman yang serba transparan ini. Mungkin hal inilah yang memicu para warga sipil untuk memenuhi, mengisi dan melengkapi kekosongan yang ada dan baik sengaja maupun tidak, telah lengah ditangkap oleh profesional.

Menariknya, media pun semakin berlomba-lomba mengangkat fenomena seksi ini. Metro TV misalnya melalui program Wide Shot. Menurut saya, program semacam  ini sangat tepat untuk menyaring bagi masyarakat mengenai berita-berita amatir yang patut dipercaya, terlepas dari pelbagai kepentingan dan agenda setting media di balik penyiarannya.

Saturday, June 22, 2013

Media Independen PPMI




Pada awal dibentuknya, PPMI merupakan kepanjangan dari Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia. Kini, kata penerbit diubah menjadi pers.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) adalah sebuah wadah alternatif dan salah satu bagian dari wadah pers mahasiswa se-Indonesia. PPMI didirikan sejak 15 Oktober 1992 oleh LPM Malang dalam suatu lokakarya pers mahasiswa. Visi PPMI ialah menciptakan pers mahasiswa sebagai kekuatan pembentuk budaya demokratis.

Tujuan didirikannya PPMI ialah mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945; dan membina daya upaya perhimpunan untuk turut mengarahkan pandangan umum di kalangan mahasiswa dengan berorientasi kemasyarakatan, dan bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam kepengurusannya, PPMI terdiri dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) se-Nusantara yang tercakup ke dalam beberapa Dewan Kota. Sejauh ini, sudah terdapat lebih dari 150 LPM dari 17 Dewan Kota yang tergabung dalam PPMI. Jakarta sendiri belum termasuk ke dalamnya, karena Jakarta memiliki PPMI Jakarta yang tiada sangkut-pautnya dengan PPMI Nasional. LPM Oranye dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara (FIKom Untar) Jakarta menjadi satu-satunya LPM Jakarta yang tergabung dalam PPMI Nasional, terhitung sejak Januari 2013.

“Sebenarnya dulu sempat ada satu dua LPM dari Jakarta yang ikut PPMI. Cuma ya gitu, hilang-timbul. Tidak ada konsistensi kehadiran apalagi kontribusi,” ungkap Memey, anggota LPM Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Sebagai wadah pers yang menaungi LPM-LPM se-Indonesia, PPMI berfungsi sebagai mediator antar LPM daerah. Mediator dalam menggelar acara dan pembacaan isu bersama. Setiap tahun diwacanakan isu bersama yang berbeda dari tahun sebelumnya. 

Anggota persma yang tergabung dalam PPMI berasal dari latar belakang program studi yang beragam. Jadi anggotanya belum tentu berbasis jurnalistik atau komunikasi politik, ada yang berasal dari fakultas sastra, teknik, psikologi, ilmu bumi, hukum, ekonomi, bisnis, sarjana pendidikan, kedokteran hingga kebidanan. Satu hal yang menyatukan mereka adalah kecintaan akan dunia jurnalistik yang pro kebenaran.

Oleh karena pelbagai anggota yang berlatar belakang program studi non-jurnalistik ini, PPMI dalam program kerjanya mencanangkan beberapa seminar dan pelatihan jurnalistik bagi anggotanya. Pada kesempatan inilah, LPM antar dewan kota dapat bersua dan berdiksusi, selain sama-sama belajar bagaimana menulis berita yang baik. Momen perjumpaan PPMI juga digelar ketika rapat pembukaan, dan rapat evaluasi tengah kepengurusan serta rapat akhir/penutupan periode.

Terkait masalah kas dan pendanaannya, sebagai media independen, PPMI sendiri menghindari intervensi modal-modal besar. “Oleh karena itu, kami juga berusaha mengoptimalkan media online. Dan untuk menjaga independensi, tidak ada bantuan dana untuk daerah-daerah. Kalaupun kami perlu dana untuk acara, kami bisa menggalang dana sendiri dari organisasional dan alumni.

Kami agak sensitif dengan dana internasional. Banyak hal dari luar negeri yang tidak baik untuk kita. Atas nama HAM, mereka memrotoli NKRI. Atas nama Feminisme, perempuan dijadikan upah negeri sehingga anak-anak pendidikannya tidak terkawal dengan baik,” tutur Deffy, Sekjend PPMI Periode 2012-2014.

Dalam situsnya, PPMI sebenarnya membuka kesempatan bagi pemodal untuk beriklan. Namun hingga kini, belum nampak satu iklan pun pada tampilan situs mereka.

Sejarah : PPMI anak IPMI
Pers mahasiswa sesungguhnya tidak kalah bergengsi disbanding pers umum atau professional. Sejarah menuturkan bahwa pers mahasiswa di Indonesia khususnya, sudah lahir sejak jaman kolonial Belanda. Hanya saja pada masa itu, kurang professional sehingga tidak diakui kiprahnya.

Era keemasan pers mahasiswa dimulai sejak tahun 1950-an. Menjamurnya pers mahasiswa di Indonesia kemudian mendorong Majalah Gama mengambil inisiatif untuk menyatupadukan pelbagai LPM se-Indonesia. Pada kongres pertamanya, dihasilkan dua organisasi pers mahasiswa, yakni Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) yang diketuai T. Yacob dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) yang ketuanya adalah Nugroho Notosusanto.

Kongres Pers Mahasiswa kedua diadakan pada 16-19 Juli 1958. Hasilnya ialah peleburan kedua organisasi yang dihasilkan kongres I, yakni IWMI dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Dengan alasan bahwa praktik antara tugas wartawan dan usaha pers (penerbitan) sulit untuk dipisahkan.

Berlanjut pada era Demokrasi Terpimpin, Soekarno mengharuskan pers untuk mencantumkan Manipol USDEK dalam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) –nya sebagai syarat terhindar dari penutupan. Hal ini berarti setiap media pers harus condong pada ideologi politik tertentu. IPMI sebagai lembaga independen tentunya menolak hal tersebut. Walau sempat mati suri, IPMI kemudian bangkit menjatuhkan Era Orla (Orde Lama) dan memasuki Era Orba (Orde Baru) dibawah tampuk kepemimpinan Soeharto.

Sayang, kejayaan pers mahasiswa juga tidak berlangsung lama pada masa orba. IPMI kembali mengalami krisis identitas dan kemunduran lainnya hingga ditinggalkan oleh LPM-LPM-nya. Pasalnya, pemerintah Orba memberlakukan aturan back to campus. Maksudnya, organisasi kemahasiswaan termasuk pers mahasiswa haruslah beranggotakan murni mahasiswa yang beraktivitas di dalam kampus. Akibatnya, LPM-LPM yang tergabung dalam IPMI sibuk sendiri dengan pers kampusnya dan melupakan tanggungjawab nasional yang dicanangkan bersama. 

Maraknya pembungkaman yang dilakukan penguasa Orde Baru terhadap sejumlah pers pada tahun 1978 memicu para aktivis pers mahasiswa bersuara sebagai media alternatif. Kebenaran publik kemudian digemakan oleh pers mahasiswa dengan ciri khas pemberitaan yang kritis, berani dan keras. Salah satunya dilakukan oleh IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Dan untuk itu, pertama kalinya dalam sejarah, pada tahun ini, pers mahasiswa juga ikut dibredel.

Setelah mengalami masa kelam dan mati suri, pers mahasiswa bangkit kembali dari keterpurukannya sekitar tahun 1990-an. Aktivis dari pelbagai universitas di seluruh Indonesia mulai memikirkan kembali peranan mereka dalam tatanan politik dan kehidupan bernegera. Dikomandoi Balairung, Persma (Pers Mahasiswa) UGM (Universitas Gajah Mada), Yogyakarta, seminar dan pelatihan jurnalistik kembali digelar secara terbuka.

Melalui beberapa kongres dan pertemuan itulah dicapai kesepakatan untuk membentuk wadah nasional media alternatif yang mengedepankan pancasila, menyuarakan kebenaran, tidak hanya informatif, tetapi juga lugas menyuarakan opini public yang intelek dan demokratis, yakni melalui Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Kiprah di Dunia Massa
Sewaktu masih bernama IPMI, PPMI sudah memiliki penerbitan media cetak resmi, yakni Mahasiswa Indonesia (Jabar) dan Mimbar Demokrasi (Bandung). Keduanya merupakan media cetak harian yang diterbitkan biro penerangan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang berorientasi untuk menggulingkan era demokrasi terpimpin.

Konten atau isi karya tulis yang dipersembahkan PPMI biasanya terkait isu kota, politik, budaya, ekonomi, media dan sosial atau kemanusiaan.

Mengikuti perkembangan jaman di mana teknologi new media semakin memudahkan gema pers, LPM di seluruh PPMI kini memiliki akses pewartaan nasional melalui situs. LPM-LPM yang tergabung terhitung menjadi kontributor dalam pengembangan dan pengisian rubrik di situs PPMINasional.com.

Selain situs dotcom, PPMI juga memanfaatkan media massa seperti buku dan film. Beberapa buku hasil kumpulan artikel dan opini anggota LPM PPMI ialah Menapak jejak PPMI yang menceritakan sejarah dan eksistensi PPMI; Karnaval Caci Maki yang berisi opini para persma mengenai carut-marut dunia komunikasi manusia. Tulisan persma PPMI juga seringkali dimuat di media cetak daerah.

Harapan Sekjend PPMI untuk keberlangsungan PPMI
“Yang jelas harapan untuk periodeku ini, mengingatkan kembali bahwa teman-teman LPM itu hanya LPM, musti bertautan. Masalah kita output-nya nanti ke mana itu terakhir. Yang penting ketika kita bermedia alternatif ini isu yang kita kawal ini disuarakan bersama. Harus bareng agar pers mahasiswa ini semakin kuat dan dilihat, tidak hanya menjadi UKM.  

Terutama dilihat oleh publik Indonesia, khususnya Dewan Pers karena mereka masih meremehkan kita. Padahal apa yang kita lakukan ini tidak main-main.

Satu lagi, website kita bersama sekarang ini masih fokus ke isu kota dan sebagai sekretariat online. Kalau mau berjalan bagus, (situs non-profit) ini ke depannya kita akan bikin portal berita yang cakupannya lebih luas. Segala angle permasalahan kita bahas di sana dengan paradigma pers mahasiswa yang apa adanya, tanpa ada kepentingan pemodal. Dan yang berhak masuk ke sana adalah setiap anggota LPM yang terdaftar dalam LPM-nya yang diserahkan ke dewan kota dan (selanjutnya) ke dewan nasional.

Bayangkan, nantinya akan ada portal berita seperti situs dotcom di kota-kota besar. Namun tulisannya berasal dari kontributor pers mahasiswa di seluruh Indonesia. Jika task ini sukses, sudah, PPMI yang selama ini dipertanyakan eksistensinya tidak dipandang sebelah mata atau seputar kampus lagi.”
Sumber : ppminasional.com ; fikomuntar.blogspot.com