Labels

Saturday, December 14, 2013

MIMPI

Gambar: cahayahitam-ins.blogspot.com
Morpheus
Serupa tapi tak sama

Januari musim semi
jiwaku berlabuh
Kala itu tabu lah rasa

Musim panas datang
bergelora dan menggebu-gebu
tiada tahu api mampu 
meranggaskanmu
tanpa ampun

Tahu-tahu musim gugur tiba
kenyataan menyadarkanmu
arti penting lalu lalang
Yah, kau sudah belajar

Menjelang musim dingin
langkah-langkah menjejak
kemudian lalu
segalanya putih

Memasuki musim hujan
Payung tersingkap menudungi
Basah tetap menggandrungi
Hanya saja kau tersembunyi
Dari mata telinga yang menghantui

Musim kemarau menyiangi
kau tengah menjadi kering

Di satu titik segalanya berpusat
memutar kembali pada satu titik

Januari musim semi
kau kembali
pada satu titik
halusinasinasi

Media dan Liputan Konflik


Foto: theviewspaper.net

Salah satu nilai berita yang menarik dan penting bagi khalayak ialah konflik. Konflik secara umum bersifat luas dan beragam latar belakangnya. Dalam jurnalistik, konflik yang dimaksud, yakni yang menjadi perebutan dominasi wacana; percecokan atau pertikaian yang melahirkan ketegangan sosial yang ditandai oleh meluasnya konflik pada sesuatu yang diperebutkan oleh pihak yang bertikai.

Wartawan merupakan garda terdepan yang akan memosisikan media dalam ranah pikiran publik. Hal tersebut sejalan dengan analisis framing dari Fairlough yang menyatakan bahwa pengalaman individu atau framing device yang akan menentukan bagaimana media memandang isu (Fairlough, 1997). Sejalan dengan itu pula, tidak heran bila jurnalis terkadang mengalami conflict of interest dalam penentuan lead dan angle liputan. Oleh karena itu, dalam meliput konflik, redaksi atau institusi media sebaiknya mengirim jurnalis yang mampu bersifat objektif dan terlepas dari konflik ketertarikan atau keberpihakan dalam suatu isu.

Praktiknya, jurnalis kesulitan meliput dari pelbagai sudut pandang dan konteks pemberitaan yang demikian beragam. Dengan demikian, untuk memudahkan penyajian suatu peliputan konflik, diperlukan agenda setting media yang tegas. Di mana realitas cenderung dikonstruksi secara sosial karena media prinsipnya ialah menceritakan kembali rangkaian peristiwa. Tahapan terkahir peliputan media mengenai suatu konflik diserahkan ke dalam kuasa gatekeeper.

Jurnalisme Damai
Guna meminimalisir pemberitaan media mengenai konflik yang destruktif, dibutuhkan pendekatan jurnalisme damai secara kooperatif. Jurnalisme damai ialah cara membingkai berita yang lebih luas, seimbang dan akurat menggambarkan analisa dan transformasi konflik. Pendekatan jurnalisme damai memberikan peta baru untuk menelusuri hubungan antara jurnalis, narasumber, cerita yang ia liput dan konsekuensi peliputan, termasuk di dalamnya, etika intervensi jurnalistik.

Pada tahun 1959, seorang veteran mediator damai asal Norwegia Profesor Johan Galtung membentuk dasar petunjuk praktis pertama mengenai Manual Jurnalisme Damai. Petunjuk praktis yang berisi hal-hal yang diperjuangkan jurnalis damai, yakni:
·         menghindari penggambaran konflik sebagai dua pihak yang memperebutkan satu tujuan, di mana hasil yang mungkin adalah pihak yang menang dan pihak yang kalah.
·         menghindari perbedaan antara diri sendiri dan orang lain, karena pemisahan tersebut cenderung memicu keabsurdan penilaian karakter kedua pihak yang tengah berkonflik.
·         hindari memperlakukan konflik sebagai sesuatu yang hanya terjadi di tempat dan waktu kekerasan terjadi. Sebaiknya, coba untuk menelusuri hubungan dan konsekuensi bagi orang di tempat lain pada saat itu dan di masa depan.

Konsep jurnalisme damai dikembangkan berdasarkan penawaran bahwa membekali reporter dengan keahlian resolusi konflik akan memungkinkan reporter tersebut menjadi professional yang lebih efektif. Orientasi jurnalisme damai ialah kemanusiaan, di mana konflik tidak hanya diwartakan sebagai sebuah peristiwa perang atau pertikaian, melainkan literasi non kekerasan yang menjadi tanggung jawab jurnalis mengenai konsekuensi pelaporan mereka.

Referensi: dari pelbagai sumber.

Wednesday, December 11, 2013

Progeria Demokrasi


"Kalau anda ingin melihat bagaimana Islam, demokrasi, modernitas, dan hak-hak perempuan berjalan seiring, datanglah ke Indonesia," puji mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton di sela kunjungannya ke Indonesia (New York Times, 2009).

Kualitas demokrasi NKRI kian merosot. Hal ini diumumkan dalam laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas serta didukung badan PBB untuk pembangunan (UNDP), di Jakarta pada Rabu, 11 Desember 2013 lalu.

Ilustrasi: id.zulkarnainazis.com
Ironis, ketika presiden kita menerima penghargaan World Statesman Award dari luar negeri, tepatnya oleh Appeal of Conscience Foundation (ACF), Amerika Serikat atas keberhasilannya membangun Indonesia yang toleran dan demokratis, indeks penilaian nasional malah membuktikan sebaliknya. IDI 2012 memperoleh poin 62.63 poin atau mengalami penurunan 2,85 poin dibanding tahun sebelumnya, 65,48 poin. 

Demokrasi Sejak Awal
Negara Demokrasi pada sejatinya, ialah negara yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan yang ada hanyalah alat negara yang bertujuan melayani rakyat dalam segala kepentingan. Demikianlah sejatinya lembaga negara selaku alat negara dalam mencapai kesejahteraan rakyat ini naik, duduk menjadi perwakilan rakyat yang memperjuangkan hak kebebasan dan kesetaraan rakyat. Mandat diberikan kepada mereka untuk dijalankan bukan dirampas dan diterbengkalaikan. 

Beranjak dari Nusantara, kepulauan yang terletak antara Benua Asia dan Australia ini kini menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Era kerajaan berubah wujud menjadi demokrasi setelah era penjajahan (1512-1945). 

Sejak mulanya, NKRI ialah negara demokrasi. Presiden pertama RI Ir. Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Layaknya Monarki non-raja dalam siklus pemerintahan versi Polybius, NKRI dipimpin oleh satu penguasa yaitu Soekarno yang mana segala aspek pemerintahan bersifat terpusat. Mengatasnamakan stabilitas politik dan ekonomi, Soekarno bahkan mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup.

Tahun 1965, Orde Lama dilengserkan Orde Baru di bawah pimpinan Mayjen Soeharto. Kali ini, Demokrasi Pancasila dikumandangkan. Faktanya, NKRI memasuki siklus Polybius kedua, yakni tirani. Atas nama pembangunan, Soeharto memerintah NKRI dengan tangan besi. Pemerintahan tidak hanya sentralis, melainkan sewenang-wenang dan otoriter. Pembungkaman hak berpendapat dan pelanggaran HAM menjadi hal yang lumrah dijalankan antek-antek OrBa.

Keterpurukan NKRI selama 32 tahun kepemimpinan Orba akhirnya digulingkan rakyat, yakni para mahasiswa. Dan NKRI pun memasuki Era Reformasi. Di bawah pemerintahan Presiden BJ. Habibie yang sebentar, atas nama revolusi, Reformasi seumur jagung itu segera bertumbuh jadi demokrasi.

Tahun 1999, pemilu legislatif dimenangkan PDI-P. Abdurrahman Wahid dari PKB dilantik menjadi presiden RI ke-4 oleh MPR. NKRI pun memasuki Era Demokrasi yang sesungguhnya. Hingga berlanjut pada pemilu presiden pertama di Indonesia tahun 2004 dimenangi Partai Demokrat, yakni Susilo Bambang Yudhoyono.

Tidak salah jika Presiden SBY dinobatkan sebagai Bapak Demokrasi Nasional. Sebab, dibanding Era Orba, kini rakyat jauh lebih bebas mengemukakan pendapatnya hingga ke jejaring sosial. Benar pula jika SBY digolongkan sebagai Bapak Demokrasi karena beliau adalah presiden RI pertama yang dipilih melalui pemilu dan terpilih sampai 2 periode berturut-turut. Sayangnya, atas nama demokrasi, kepemimpinan dijalankan secara retorika belaka. Demokrasi yang diterapkan hanya umbar pada kebebasan semata. Kebebasan ada diperuntukkan golongan tertentu. Sementara kesejahteraan rakyat masih terabaikan. Sayangnya, seperti kata Plato, demokrasi hanya untuk kaum elit. 

Kesimpulan
Begitu cepat Indonesia menjadi negara berbasis demokrasi. Sejak mulanya bahkan adalah demokrasi. Bandingkan dengan negara-negara Timur Tengah yang baru-baru ini mencapai demokrasi. Sudah begitu lama Indonesia berdemokrasi tanpa peningkatan yang substansial. Bandingkan dengan Botswana, negara demokrasi yang lebih muda dari NKRI, pendapatan per kapitanya $17,596 berbanding jauh dengan Indonesia yang pendapatan per kapitanya $5,182.

Begitu cepat negara ini mengalami loncatan dinamika politik dan bentuk pemerintahan. Tanpa disadari bangsa ini begitu rapuh hingga ke akar-akarnya, Gempuran ideologi menghujam bangsa ini sedemikian rupa sebelum sempat terbentuk jati diri bangsa yang kokoh. Umur NKRI baru 68 tahun. Namun ramalan-ramalan kehancuran sudah menghantui NKRI. 

Menelaah ramalan Polybius, ketika suatu pemerintahan telah mencapai demokrasi, selanjutnya ialah Oklorasi. Ketika rakyat ingin memerintah dengan menggulingkan pemerintahan yang korup, pada saat itulah akhir suatu negara ditentukan. Apakah negara itu akan hancur ataukah muncul seorang pemimpin baru yang mampu mengambil alih kekuasaan dan menegakkan kembali Monarki?

Kasus Korupsi di Indonesia terlalu mendarah daging, mengakar budaya. Kedaulatan rakyat kian tergerus. Sadarkah kita bahwa bangsa dan negara ini tengah mengalami penuaan dini demokrasi? Negara ini belum siap akan segala sesuatu, namun tuntutan jaman memaksa bangsa ini melaju. Sampai kapan kita berdiam dalam ketidaksigapan? Kehancuran di depan mata, Bung!

“Revolusi belum selesai!” seru Bung Karno.