Labels

Saturday, May 17, 2014

Review Movie "Page One : Inside The New York Times (2010)"

Kisah dimulai dari berita-berita mengenai kebangkrutan industri media cetak di Amerika Serikat akibat maraknya media online dan media sosial. Sebut saja, The Rocky Mountain News yang sudah berdiri selama 150 tahun pun akhirnya menerbitkan edisi terakhirnya. Industri media cetak di Amerika Serikat seperti Star Tribune, dan The Boston Globe selanjutnya turut gulung tikar. Penurunan omzet penjualan surat kabar harian bahkan berdampak kepada surat kabar harian terbesar di Amerika, The New York Times. Dan melalui film dokumenter arahan Andrew Rossi inilah akan diungkap bagaimana nasib The New York Times dalam menghadapi krisis bermedia berita cetak di era media online.

Pada tahun 2008, The New York Times membuka divisi Media Desk guna melaporkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam industri media. Kehadiran media online terutama jejaring sosial membuat popularitas koran harian menurun lebih cepat dari yang diduga. Pendapatan koran pun diberitakan menurun sekitar 30%.

Image: Doc. Wikipedia
Tahun 2010, Wikileaks merilis dokumen rahasia dan video yang menguncang perkembangan industri media dan pemerintahan di seluruh dunia. Melalui youtube, video-video paling rahasia yang sulit didapatkan wartawan media didapatkan Wikileaks dengan mudah. Hal ini seolah menertawai kinerja media mainstream. Tugas wartawan dalam meliput keadilan yang dihadirkan Wikileaks luput dari jangkauan profesional. Siapa lah Julian Assange, pendiri Wikileaks itu, sehingga bisa mendapatkan dokumen serahasia itu dan menyebarluaskan informasinya selayaknya wartawan?

Berpuluh-puluh tahun lampau, pembocoran dokumen rahasia Amerika Serikat yang dikenal sebagai The Pentagon Papers juga pernah diterbitkan media massa AS. Dokumen rahasia mengenai perang Vietnam itu dibocorkan oleh analisator militer AS Daniel Ellsberg. Hal serupa yang kini sedang dilakukan Wikileaks. Bedanya, Pentagon Papers pada masa itu membutuhkan media untuk menyuarakan kebenarannya, Wikileaks tidak. Julian Assange bisa memublikasikan sendiri informasi yang dimilikinya melalui situs Wikileaks-nya.

Jeff Jarvis, pengarang ‘What Would Google Do?’ menyatakan bahwa media cetak secara periodik murni sudah mati tetapi tidak sama halnya dengan berita. Berita tetap hidup karena bisa diproduksi dan dikonsumsi dengan lebih murah sekarang ini dengan cara yang baru.

Kejatuhan The New York Times menjadi isu menarik di dunia bisnis industri media Amerika Serikat. Beberapa pihak menunggu kejatuhannya, sementara sebagaian lainnya masih berusaha menjaga keutuhan eksistensi media terbesar di AS ini. The New York Times bagaimanapun bukan sekadar media cetak biasa. Ia memiliki sejarah panjang mendapatkan kepercayaan tertinggi publik. Yang mana dalam sejarahnya, penguakan isu-isu besar, berita ekslusif dunia dipelopori oleh The New York Times. Sebagai media massa nomor satu di AS, The New York Times menjadi acuan bagi media cetak hingga media elektronik lain.

“Teknologi berubah, begitu pun (industri) media,” kata Michael Wolff, pendiri newser.com. Dunia memang sudah berubah. Dibutuhkan upaya lain bagi industri media bertahan hidup dalam era media online. Jurnalisme investigatif kemudian dikedepankan sebagai kekuatan utama media cetak. Verifikasi yang tinggi dan akurat menjadi kekuatan lain yang membedakan media cetak dan media online yang mengutamakan kecepatan dan kuantitas.

Untuk menjaga kelangsungan industri medianya, The New York Times kemudian memanfaatkan isu kemanusian yang diangkat Wikileaks menjadi berita utamanya. Dimana tidak semua khalayak mengakses kawat diplomatik yang dibocorkan situs Wikileaks, The New York Times menyediakan diri jadi filter Wikileaks dan menjual beritanya di halaman utama mereka. Bersamaan dengan itu, The New York Times menyajikan opini publik mengenai kehadiran Wikileaks dan perkembangan kasus hukum pendiri Wikileaks Jullian Assange guna mengimbangi sajian beritanya. 

Dalam film ini digambarkan bagaimana perjuangan para wartawan The New York Times membangun kembali kejayaan The New York Times. Para wartawan dan redaksi Times melalui pernyataan yang terekam mengungkapkan kecintaan mendalam mereka terhadap Times. Media besar AS yang menjadi idaman bagi setiap jurnalis AS turut andil di dalamnya. Penokohan terutama difokuskan kepada sosok David Carr, salah satu kolumnis senior di The New York Times. Pemusatan tokoh terlihat dari pelbagai kesempatan perwakilan bicara Times dimuka publik yang dipercayakan pada David. Sorot kehidupan pribadi jurnalis Times juga dititikberatkan pada sosok David alih-alih pemimipin redaksinya Bill Keller maupun Jill Abramson yang selanjutnya menggantikan Bill Keller.

Singkat cerita, media cetak lain mengalami kejatuhan total karena lebih mementingkan persoalan finansial. ABC bahkan memangkas 400 karyawannya. Berbeda dengan media lain, Times bertahan. Penghargaan Pulitzer yang mereka dapatkan pada tahun 2010 menegaskan kepada publik AS, terutama kepada pihak-pihak yang mengolok-olok perjuangan mereka bahwa The New York Times tidak bisa dibunuh semudah itu.

2 minggu setelah Times menerbitkan artikel liputan investigasi David Carr, yakni mengenai pelecehan seksual dan pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan petinggi media Tribune, Randy Michaels mengundurkan diri sebagai CEO Perusahaan Tribune. 

Setelah 8 tahun menjabat, Bill Keller mengumumkan pengunduran dirinya, digantikan Jill Abramson yang menjadi kepala editor eksekutif perempuan pertama dalam sejarah Times. The New York Times kini juga mengenakan bayaran untuk setiap akses penuh berita di situsnya. Sementara itu, di luar sana para pembaca dan penerbit masih memperdebatkan mengenai cara jurnalisme mampu menyokong dirinya.

Film by: Magnolia Pictures and Participant Media

Monday, May 12, 2014

TOKOH AGENDA SETTING

Istilah “Agenda Setting” sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1922. Walter Lippmann, seorang wartawan politik Amerika yang menonjol pada jamannya, disebut-sebut sebagai pelopor utama sudut pandang adanya agenda tersendiri atau tertentu yang sengaja dirancang tiap-tiap media massa. Melalui buku Public Opinion yang dirilisnya mengenai teori agenda setting, Lippmann mengemukakan konsep “the world outside and the pictures in our heads”. Setali tiga uang dengan pernyataan Socrates yang dikutip Plato dalam bukunya, “how indirectly we know the environment in which nevertheless we live…but that whatever we believe to be a true picture, we treat as if it were the environment itself.” Bagaimanapun, media massa memiliki kekuatan untuk memengaruhi publik baik secara koqnitif, afektif maupun konatif. Ada begitu banyak peristiwa dan isu yang terjadi di dunia. Dan tidak semua kejadian tersebut dapat disaksikan, didengar dan dirasakan langsung oleh semua orang. Melalui media lah isu-isu yang terjadi di masyarakat dan dunia disalurkan sehingga menjadi informasi dan konsumsi berita khalayak dan publik. Dengan kata lain, media massa menjadi sumber utama gambaran-gambaran di benak khalayak tentang dunia luar yang jauh dari jangkauan, pandangan dan pemikiran mayoritas khalayak. Sebagian besar isu yang diketahui dan berkembang di publik adalah isu-isu yang diangkat atau diberitakan oleh media massa.

Pelawak kawakan Amerika Will Rogers bahkan pernah berkata, “All I know is just what I read in the newspapers.” Ya, pada dasarnya memang hal-hal yang kita ketahui berasal dari informasi yang disediakan dan disajikan oleh media massa.

Istilah “Agenda Setting” kemudian dipopulerkan pada tahun 1960-an. Akademisi jurnalisme Amerika Maxwell McCombs, Donald Shaw dan David Weaver menjadi perumus utama teori agenda setting. Ketiganya melakukan studi berdasarkan momentum tiga kali pemilu presiden di Amerika yang dilaksanakan pada tahun 1968, 1972 dan 1976. Berdasarkan penelitian tahun 1968, mereka berfokus pada 2 elemen utama yakni, kesadaran dan informasi. Menilik fungsi agenda setting media massa, mereka berusaha menganalisis hubungan antara topik yang dianggap penting oleh pemilih dalam satu komunitas dengan aktual konten yang sedang diangkat media massa Amerika selama masa kampanye presiden. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa media massa menggunakan pengaruh yang signifikan akan apa yang dirasakan para pemilih sebagai isu mayoritas selama kampanye.

Pada tahun 1963, Bernard Cohen pernah menyatakan, “The press may not be successful much of time in telling people what to think, but it is stunningly successful in telling its readers what to think about.” [Pers mungkin tidak selalu berhasil mengatakan pada orang-orang apa yang harus dipikirkan, tetapi pers dengan memukau berhasil mengatakan pada pembacanya apa yang harus mereka pikirkan.]

Denis McQuail mengutip definisi agenda setting sebagai “proses dimana perhatian relatif diberikan kepada item atau isu dalam peliputan berita memengaruhi urutan peringkat dari kesadaran masyarakat mengenai masalah dan atribusi yang signifikan. Sebagai tambahan, kebijakan publik pun dapat dipengaruhi.

Referensi:
Antoni. 2004. Riuhnya Persimpangan Itu: Profil dan Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi. Jakarta: Tiga Serangkai.

Freeland, Amber M. 2012, 12 November. An Overview of Agenda Setting Theory in Mass Communications [pdf]. Tersedia di: https://www.academia.edu/3355260/An_Overview_of_Agenda_Setting_Theory_in_Mass_Communications. [Akses: 25 Maret 2014].


McCombs, Maxwell. 2013. Setting The Agenda: The Mass Media and Public Opinion. John Wiley&sons.