Kisah dimulai dari berita-berita mengenai kebangkrutan
industri media cetak di Amerika Serikat akibat maraknya media online dan media sosial. Sebut saja, The Rocky Mountain News yang sudah
berdiri selama 150 tahun pun akhirnya menerbitkan edisi terakhirnya. Industri
media cetak di Amerika Serikat seperti Star
Tribune, dan The Boston Globe
selanjutnya turut gulung tikar. Penurunan omzet penjualan surat kabar harian
bahkan berdampak kepada surat kabar harian terbesar di Amerika, The New York Times. Dan melalui film dokumenter
arahan Andrew Rossi inilah akan diungkap bagaimana nasib The New York Times dalam menghadapi krisis bermedia berita cetak di
era media online.
Pada tahun 2008, The New York Times membuka divisi Media Desk guna melaporkan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam industri media. Kehadiran media online terutama jejaring sosial membuat popularitas
koran harian menurun lebih cepat dari yang diduga. Pendapatan koran pun
diberitakan menurun sekitar 30%.
Image: Doc. Wikipedia |
Tahun 2010, Wikileaks
merilis dokumen rahasia dan video yang menguncang perkembangan industri media dan
pemerintahan di seluruh dunia. Melalui youtube,
video-video paling rahasia yang sulit
didapatkan wartawan media didapatkan Wikileaks
dengan mudah. Hal ini seolah menertawai kinerja media mainstream. Tugas wartawan dalam meliput keadilan yang dihadirkan Wikileaks luput dari jangkauan profesional.
Siapa lah Julian Assange, pendiri Wikileaks
itu, sehingga bisa mendapatkan dokumen serahasia itu dan menyebarluaskan informasinya
selayaknya wartawan?
Berpuluh-puluh tahun lampau, pembocoran dokumen rahasia
Amerika Serikat yang dikenal sebagai The
Pentagon Papers juga pernah diterbitkan media massa AS. Dokumen rahasia
mengenai perang Vietnam itu dibocorkan oleh analisator militer AS Daniel Ellsberg.
Hal serupa yang kini sedang dilakukan Wikileaks.
Bedanya, Pentagon Papers pada masa
itu membutuhkan media untuk menyuarakan kebenarannya, Wikileaks tidak. Julian Assange bisa memublikasikan sendiri
informasi yang dimilikinya melalui situs Wikileaks-nya.
Jeff Jarvis, pengarang ‘What
Would Google Do?’ menyatakan bahwa media cetak secara periodik murni sudah
mati tetapi tidak sama halnya dengan berita. Berita tetap hidup karena bisa
diproduksi dan dikonsumsi dengan lebih murah sekarang ini dengan cara yang
baru.
Kejatuhan The New York
Times menjadi isu menarik di dunia bisnis industri media Amerika Serikat. Beberapa
pihak menunggu kejatuhannya, sementara sebagaian lainnya masih berusaha menjaga
keutuhan eksistensi media terbesar di AS ini. The New York Times bagaimanapun bukan sekadar media cetak biasa. Ia
memiliki sejarah panjang mendapatkan kepercayaan tertinggi publik. Yang mana
dalam sejarahnya, penguakan isu-isu besar, berita ekslusif dunia dipelopori
oleh The New York Times. Sebagai
media massa nomor satu di AS, The New
York Times menjadi acuan bagi media cetak hingga media elektronik lain.
“Teknologi berubah, begitu pun (industri) media,” kata
Michael Wolff, pendiri newser.com. Dunia memang sudah berubah. Dibutuhkan upaya
lain bagi industri media bertahan hidup dalam era media online. Jurnalisme investigatif kemudian dikedepankan sebagai
kekuatan utama media cetak. Verifikasi yang tinggi dan akurat menjadi kekuatan
lain yang membedakan media cetak dan media online
yang mengutamakan kecepatan dan kuantitas.
Untuk menjaga kelangsungan industri medianya, The New York Times kemudian memanfaatkan
isu kemanusian yang diangkat Wikileaks
menjadi berita utamanya. Dimana tidak semua khalayak mengakses kawat diplomatik
yang dibocorkan situs Wikileaks, The New York Times menyediakan diri jadi
filter Wikileaks dan menjual
beritanya di halaman utama mereka. Bersamaan dengan itu, The New York Times menyajikan opini publik mengenai kehadiran Wikileaks dan perkembangan kasus hukum
pendiri Wikileaks Jullian Assange
guna mengimbangi sajian beritanya.
Dalam film ini digambarkan bagaimana perjuangan para
wartawan The New York Times membangun kembali kejayaan The New York Times. Para
wartawan dan redaksi Times melalui pernyataan yang terekam mengungkapkan
kecintaan mendalam mereka terhadap Times. Media besar AS yang menjadi idaman
bagi setiap jurnalis AS turut andil di dalamnya. Penokohan terutama difokuskan
kepada sosok David Carr, salah satu kolumnis senior di The New York Times. Pemusatan tokoh terlihat dari pelbagai
kesempatan perwakilan bicara Times dimuka
publik yang dipercayakan pada David. Sorot kehidupan pribadi jurnalis Times juga dititikberatkan pada sosok
David alih-alih pemimipin redaksinya Bill Keller maupun Jill Abramson yang
selanjutnya menggantikan Bill Keller.
Singkat cerita, media cetak lain mengalami kejatuhan total
karena lebih mementingkan persoalan finansial. ABC bahkan memangkas 400 karyawannya.
Berbeda dengan media lain, Times bertahan.
Penghargaan Pulitzer yang mereka dapatkan pada tahun 2010 menegaskan kepada
publik AS, terutama kepada pihak-pihak yang mengolok-olok perjuangan mereka
bahwa The New York Times tidak bisa
dibunuh semudah itu.
2 minggu setelah Times menerbitkan artikel liputan
investigasi David Carr, yakni mengenai pelecehan seksual dan pelanggaran kode
etik jurnalistik yang dilakukan petinggi media Tribune, Randy Michaels
mengundurkan diri sebagai CEO Perusahaan Tribune.
Setelah 8 tahun menjabat, Bill Keller mengumumkan
pengunduran dirinya, digantikan Jill Abramson yang menjadi kepala editor
eksekutif perempuan pertama dalam sejarah Times. The New York Times kini juga mengenakan bayaran untuk setiap akses penuh
berita di situsnya. Sementara itu, di luar sana para pembaca dan penerbit masih
memperdebatkan mengenai cara jurnalisme mampu menyokong dirinya.
Film by: Magnolia Pictures and Participant Media
No comments:
Post a Comment