Labels

Friday, June 26, 2015

Egoisme Sejarah UU Perkawinan


  Berikut adalah sekilas hasil penelitian yang sedang admin kerjakan. Tema penelitiannya terkait pemberitaan media siber di Indonesia yang berlandaskan ideologi agamis dalam mengangkat isu pernikahan beda agama. Isu yang ditiupkan ketika ada 3 orang mahasiswa, 1 mahasiswi dan seorang alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengajukan permohonan uji materi terhadap pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan metode analisis wacana kritis buah pemikiran Norman Fairclough.
 
Tabel 4. 45.
15 September 2014 pukul 16:33 (38 dari 71)
MUI: UU Pernikahan Cocok dengan Kondisi Indonesia
Aktor
1.      Pemuda Muslim di Indonesia;
2.      Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI: Slamet Effendy Yusuf;
3.      Presiden Soeharto;
4.      Kiai Masykur;
5.      Ulama NU
Tindakan
-
Peristiwa
Sejarah perumusan UU Perkawinan No. 1/1974.
Keadaan
Hasil perjuangan para ulama dan pemuda Muslim Indonesia.
Proses Mental
UU Pernikahan hasil perjuangan dan sudah cocok dengan kondisi Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejarah Undang-Undang (UU) Perkawinan yang berlaku merupakan buah dari perjuangan pemuda terutama pemuda Muslim di Indonesia. “UU Perkawinan ini hasil dari ijtihad ulama, termasuk ulama Nahdlotul Ulama dibawah pimpinan Kiai Masykur,” ujar Slamet Effendy Yusuf, Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indoensia (MUI) di Jakarta, Senin (15/9).

     Sejarah Undang-Undang (UU) Perkawinan di sini menjadi tema, yakni fokus utama pemberitaan. Aktor yang dikedepankan peranannya adalah pemuda Muslim di Indonesia. Dari sini jelas ada penegasan dari awal memang UU Perkawinan dibuat hanya oleh pemuda Muslim, berdasarkan perspektif Islam semata. Tanpa memasukkan pendapat agama lain. Paragraf kedua juga menjelaskan bahwa ada demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dalam rangka menolak UU Perkawinan yang merupakan duplikasi buatan pemerintah Hindia Belanda. Bahkan pada paragraf keempat, dikatakan:

Gedung DPR/MPR dalam sejarah bangsa Indonesia baru dua kali diduduki oleh mahasiswa. “Pertama akibat UU Perkawinan 1974 dan kedua ketika pelengseran Presiden Soeharto pada 1998,” ujar dia.

     Berarti sebenarnya, ada proses mental secara implisit bahwa UUP sejak awalnya sudah menuai pro dan kontra. Bahwa pengesahan secara sepihak UUP No. 1/1974 dalam sejarahnya sudah dan pernah membuat masyarakat Indonesia geram dan bergejolak. Namun tidak digubris dan tetap diterapkan hingga sekarang. Semua demi tidak menyia-nyiakan perjuangan para pemuda Muslim Indonesia dan para Kiai yang diminta Soeharto untuk merumuskan UUP, perjuangan yang merupakan “hasil musyawarah” di garasi mobil rumah Kiai Masykur. Pertanyaannya, apakah yang penting hanya pendapat para kiai? Lalu dimana peranan keempat agama lain dalam perumusan UUP ini yang saat orde baru sudah diakui sebagai agama di Indonesia, seperti pendeta (Kristen), romo atau pastur (Katolik), bhikkhu dan bhikkhuni (Buddha) dan Pandita, Pedanda (Hindu)?

Berita selengkapnya tersedia di:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/09/15/nbxrwm-mui-uu-pernikahan-cocok-dengan-kondisi-indonesia.

Pembahasan di atas bisa jadi  hanya berdasarkan subjektivitas peneliti. Jika ada yang berpendapat lain, silakan saja. Bebas koq. Karena toh hak kebebasan berekspresi termasuk didalamnya hak kebebasan berpendapat kan dilindungi oleh undang-undang. Woles aja, yang penting bebasnya enggak bablas.  
 
Nantikan edisi skripsi utuhnya di suatu media pada waktu yang akan datang. Medianya bisa di blog ini bisa juga di media lain. Doakan saja. Hahaha... Selamat membaca. Semoga membuka perspektif baru bagi Anda.