Labels

Wednesday, October 23, 2013

Pemilu dalam Laga Persepakbolaan Indonesia

Menarik, pengingatan pemilu legislatif kini merambah persepakbolaan Indonesia. Tertera peringatan “Ingat, Pemilu 9 April 2014” di punggung seragam Tim Indonesia RED (Retired Extremely Dangerous) dalam laga persahabatan melawan United Red di Stadion GBK pada Rabu, 23 Oktober 2013.
Sumber : bola.kompas.com

Tulisan “pemilu” sendiri dicetak dengan warna hitam, sedangkan kata “Ingat, 9 April 2014” dicetak dengan warna oranye. Adakah hal ini sebuah pesan kampanye terselubung partai politik (parpol) tertentu? Sesuai jadwal, laga “Battle of Red” ini rencananya akan ditayangkan langsung MNC TV pada pukul 19.00 WIB.

Terkait hal tersebut, ada baiknya kita menilik Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Kampanye. Pasal 17 menegaskan, pemasangan spanduk diperkenankan untuk calon legislatif (caleg), prinsipnya 1 caleg 1 spanduk tiap zona. Sementara baliho atau papan reklame (billboard) diberlakukan untuk parpol, 1 unit 1 daerah. Bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh parpol dan caleg pada wilayah yang ditetapkan KPU berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.

Sementara upaya mengiklankan diri di media massa (cetak, elektronik maupun online) dengan menampilkan wajah pejabat negara dalam iklan layanan masyarakat institusinya 6 bulan sebelum hari pemungutan suara dilarang KPU.

Penertiban terkait diundangkannya PKPU tersebut pada 27 Agustus 2013 ini mulai direalisasikan di pelbagai tempat. Kampanye ekspilisit dapat dengan mudah ditertibkan petugas pemerintah daerah dan lembaga pengawasan pemilu lainnya termasuk lembaga penyiaran dan pers. Namun bagaimana dengan yang implisit?

Banyak cara dapat dilancarkan para kandidat pemilu demi kemenangan mereka. Dengan demikian, diharapkan para pemilihlah yang semakin cerdas mengkritisi calon wakil rakyat yang diusung. Sementara lembaga pengawas pelaksanaan pemilu diharapkan semakin peka terhadap unsur-unsur kampanye parpol yang kian tersirat, serta tegas menindak para pelanggarnya sesuai sanksi yang berlaku.

Bahan Pustaka :
Aritonang, Deytri Robekka. (2013, 3 September). Tertibkan Alat Peraga Kampanye, KPU Minta Mendagri Keluarkan Edaran. Kompas Nasional [online]. Tersedia: http:// nasional.kompas.com/ read/ 2013/09/03/ 1142032/ Tertibkan. Alat. Peraga. Kampanye. KPU. Minta. Mendagri. Keluarkan. Edaran. [Akses 23 Oktober 2013].

Dennys, Ferril. (2013, 22 Oktober). Seragam Indonesia RED Ingatkan Tanggal Pemilu. Kompas Bola [online]. Tersedia : http: // bola.kompas.com/ read/ 2013/10/22/ 1808287/ Seragam.Indonesia.RED.Ingatkan.Tanggal.Pemilu. [Akses 23 Oktober 2013].

KPU. Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 172 Tahun 2003. Tersedia: www.kpu.go.id/ dmdocuments/ pkpu_15_2013_kampanye.pdf. [Akses 23 Oktober 2013].

Tandingan Wewenang KPK


Sumber : www.memoarema.com
Kesadaran akan penindakan kasus korupsi secepatnya menjadi urusan yang paling mendesak di Bumi Pertiwi ini.  Setiap upaya untuk mencegah apalagi mengebiri penindakan ini dijadikan musuh bersama yang layak diperangi sampai titik darah penghabisan. Ya, bukan bermaksud berlebihan, namun memang sedemikian menduri dalam daging kasus korupsi di negeri ini.

Seiring perkembangan jaman, rakyat semakin cerdas mengkritisi pemerintah bahkan hingga kebijakan-kebijakan yang hendak diusungnya. Sudah waktunya petinggi negara beserta seluruh jajarannya mengakui hal tersebut. Bahwa mereka tidak lagi bisa mengiming-imingi masyarakat dengan janji-janji kosong, apalagi kebijakan-kebijakan ngawur.

Menjelang akhir periode kepengurusan, Komisi III DPR kembali mencuatkan revisi UU KUHAP yang disinyalir berpotensi mengebiri kewenangan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Dalam draf RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana mengenai penyadapan, KPK selaku komisi luar biasa yang dipercaya menegakkan hukum tindak pidana korupsi tidak dilibatkan sama sekali. Pasalnya, kedua kewenangan itu harus melalui persetujuan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Hal inilah yang diminta pihak KPK ditarik kembali karena dapat menghambat tugas KPK.

Pelumpuhan terselubung lain terhadap kewenangan KPK juga tersirat dalam pasal 3 ayat 2 tentang tindak pidana dalam KUHAP yang mengancam peniadaan kebijakan KPK dalam penanganan kasus korupsi; pasal 44 tentang penuntut umum yang berwenang memutuskan apakah suatu perkara dapat diadili atau tidak; pasal 58 tentang penentuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5x24 jam, dimana penentuan penahan hanya menjadi wewenang Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Agung; pasal 67 tentang penangguhan penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa, memungkinkan Hakim Pemeriksa Pendahuluan menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK; pasal 75 mengenai penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan; pasal 83 tentang penyadapan juga harus berdasarkan ijin Hakim Pemeriksa Pendahuluan; pasal 240 tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas. Dampaknya, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka kasus yang diajukan KPK tidak dapat dikasasi; pasal 250 tentang putusan MA terkait pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi. Dampaknya, kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika dikasasi.

Dengan demikian, wajarlah jika KPK menggugat Rancangan Undang-undang KUHAP tersebut. KPK ini lembaga independen yang berada di luar lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Apabila segala tindakannya perlu meminta ijin Hakim Pemeriksa Pendahuluan, bukankah ini menyalahi kesahihan KPK sebagai lembaga independen?

Tak apa, kontroversi semacam ini bukannya buruk. Hikmahnya, khalayak dapat memilah melalui kejadian semacam ini, manakah pihak-pihak yang pro pemberantasan kasus korupsi dan mana pihak yang pro terhadap tindakan lancung tersebut. Di mana melalui kebijakan, ia berusaha mencari-cari celah pembenaran atas tindakan lancungnya serta jika mampu, meraup kelancungan sebesar-besarnya sementara memperoleh ganjaran seminim-minimnya. Mati rasa terhadap penderitaan rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Densus Anti Korupsi
Rancangan ini bukan baru sekali terjadi. Tahun lalu, poin penindakan dalam draf RUU KUHAP tersebut juga meniadakan peran KPK. Semua penindakan dilimpahkan kepada kepolisian. Dewasa ini,  digadang-gadang pula pembentukan Densus Antikorupsi.

Mengenai Desus Antikorupsi yang dipilih dari jajaran kepolisian, baiknya ialah kepastian adanya aparat penegak hukum yang bisa menjadi alat KPK menindak koruptor. Harapannya, dengan adanya densus tersebut, isu penarikan aparat kepolisian di tengah-tengah pengusutan kasus korupsi oleh KPK akan lenyap sama sekali. Namun apabila densus ini hanya dibentuk sebagai lembaga tandingan yang terpisah atau bahkan sejajar, yang berarti bukan di bawah KPK, maka sebaiknya pertimbangkan kembali usulan tersebut. Kalau ada yang perlu diusulkan, saya usulkan perbaikan kinerja kepolisian.

Hemat saya, hanya satu dan cukup satu saja lembaga yang berwenang menindak korupsi. Supaya sehat, jelas kepada siapa kita mengadu, menolehkan pandangan, mengawasi kinerja penanganan kasus korupsi. Untuk apa pembentukan Densus Antikorupsi? Apakah sebagai lembaga tandingan KPK? Mengapa harus disandingkan? Apakah KPK dipandang tidak ganas lagi ataukah ada kekecewaan terhadap kinerja KPK sehingga perlu dibentuk perpecahan atau lembaga tandingan demikian?

Pro hukum dan pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya, hal inilah yang diinginkan segenap masyarakat. Jika benar RUU KUHAP itu kemudian ditetapkan sebagai UU oleh DPR, dapat dipastikan, masyarakat akan semakin apatis terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Terutama semakin skeptis terhadap kinerja DPR.

Menjelang pemilu, kekhawatiran saya selain terhadap pencalonan tetap pemimpin-pimimpin yang inkompeten dalam bidangnya, patut pula dikhawatirkan keaktifan peserta pemilu. Seperti terjadi di sejumlah daerah pada pilkada tahun ini, pemilih yang golput (golongan putih) semakin besar persentasenya. Bahkan dalam beberapa perhitungan, kaum golput-lah yang selayaknya memenangi pilkada.

Bahan Pustaka
Ferdinan. [2013, 22 Oktober]. Soal Densus Antikorupsi, Sutarman Prioritaskan Penguatan Profesionalisme Polri. Detiknews [online]. Tersedia : http:// news.detik.com/ read/ 2013/10/22/ 165936/2392518/10/soal-densus-antikorupsi-sutarman-prioritaskan-penguatan-profesionalisme-polri. [Akses: 23 Oktober 2013].

Gustaman, Yogi. [2013, 1 Oktober]. 9 Pasal RUU KUHAP yang Dinilai Bisa Lemahkan Kewenangan KPK. Tribunnews [online]. Tersedia: http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/01/ini-9-pasal-ruu-kuhap-yang-dinilai-bisa-lemahkan-kewenangan-kpk. [Akses: 23 Oktober 2013].
Sutrisno, Elvan Dany. [2013, 22 Oktober]. Berpotensi ‘Kebiri’ KPK, Komisi III Tak Masalah Revisi UU KUHAP Distop. Detiknews [online]. Tersedia: http:// news.detik.com/ read/ 2013/03/22/ 110940/ 2200921/ 10/ berpotensi- kebiri- kpk- komisi- iii- tak- masalah- revisi- uu- kuhap- distop? nd771104bcj. [Akses: 23 Oktober 2013].

JATUH KE LUBANG YANG SAMA

Di penghujung akhir periode pemerintahannya, Presiden SBY nampaknya tengah menguji diri. Dengan pelbagai masalah negara yang merundunginya, tak henti-henti ia menciptakan sensasi. Perhatikan saja gelagat beliau yang semakin banyak berbicara, meracukan instruksi –instruksi dan keputusan-keputusan yang tidak jelas hasilnya. 

Kebulatan Presiden SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan (Perpu) No. 1 Tahun 2013 menunjukkan bahwa ia tidak belajar dari sejarah. Atau mungkin memang sengaja mengulang sejarah demi suatu maksud dan tujuan yang terselubung.

Sesuai dengan yang diberitakan akhir-akhir ini, Presiden SBY telah menandatangani Perpu yang konon demi penyelamatan reputasi MK tersebut guna diajukan sebagai perubahan kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi di Yogyakarta pada Kamis malam, 17 Oktober 2013, tepat 2 minggu setelah penangkapan KPK atas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.

Ada tiga hal penting yang disampaikan Presiden SBY dalam Perpu tersebut. Pertama adalah penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi. Substansi kedua ialah memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Terakhir, perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi.

Mengulang Sejarah
Bercermin pada sejarah, hal ini pernah terjadi pada kedua presiden kita sebelumnya, B.J. Habibie dan Alm. K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Namun keduanya berakhir sama, Perpu-perpu yang berbuah penentangan pelbagai pihak dan akhirnya penolakan oleh DPR.

Era reformasi, setelah melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan, pemerintahan (sementara) Habibie selanjutnya mengeluarkan Perpu No.  2/1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum” pada 24 Juli 1998. Bertolak belakang dengan judul Perpu, isinya justru menekan kebebasan mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berekspresi di ruang publik.

Kenaikan Habibie selaku penerus mandat kepresidenan yang dicopot dari Soeharto pada Mei 1998, dipandang skeptis oleh rakyat. Minimnya kepercayaan terhadap Habibie mengakibatkan demo berkepanjangan yang berlangsung ricuh pada masanya. Oleh karena hal itulah, Habibie terdesak untuk mengatur kericuhan yang semakin menjadi itu dengan mengajukan Perpu No. 2 Tahun 1998. Namun Perpu itu ditarik dari pembahasan DPR karena isinya yang tidak menyelesaikan konflik, serta bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28.

8 Oktober 1999, 3 hari menjelang pidato pertanggungjawaban Habibie di MPR, dikeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1999 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Lagi-lagi, Perpu ini juga ditolak oleh seluruh fraksi DPR. Kesepuluh fraksi DPR pada masa itu lebih menyarankan pemerintah segera membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan HAM serta pembentukan lembaga amnesia.

Fraksi Partai Golkar mengusulkan pembentukan lembaga amnesia, yaitu lembaga yang memberikan pengampunan bagi pelaku pelanggaran HAM. Sedangkan LT Susanto dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI) mengingatkan pentingnya RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Menurut keterangan Juru Bicara Fraksi Reformasi (pada masa itu) Raja Rusli, kelahiran Perpu No. 1/1999 memiliki nuansa politik, yakni pemerintahan Habibie berusaha merespon tekanan internasional terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Habibie saat itu ingin pelanggaran HAM di Timor Timur tak menjadi persoalan internasional, tetapi dapat dilokalisir menjadi persoalan nasional.

Era Almarhum Gus Dur, skandal buruk lembaga peradilan negara kita juga pernah menimpa Mahkamah Agung (MA). Abdul Hakim Garuda Nusantara, pengacara sekaligus seorang pejuang HAM Indonesia menuturkan, untuk memulihkan nama baik MA, Gus Dur bisa saja mengeluarkan Perpu yang isinya mempensiunkan seluruh hakim agung dan mengangkat sejumlah hakim agung non-karier, serta menetapkan uang pensiun yang harus diterimanya.

Langkah radikal itu bisa ditempuh Gus Dur jika pemerintah ingin segera bisa memperbaiki lembaga MA. Demikian dikatakan Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam diskusi "Mencari Format Ideal Kedudukan dan Fungsi Lembaga Kekuasaan Kehakiman" yang diadakan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional di Jakarta pada Kamis, 30 Maret 2000.

Saat itu, MA terganjal skandal vonis palsu yang dikenal sebagai Tragedi Nyai Marwanih.  Nyai Marwanih dipaksa bolak-balik MA hingga lebih dari 10 tahun. Berkali-kali ia memenangi pengadilan, namun keanehan mulai terjadi saat eksekusi berjalan. MA mengintrodusir Peninjauan Kembali (PK) tahap kedua yang mengganjal eksekusi pengembalian hak tanah Marwanih yang seharusnya sudah ia menangkan selama pengadilan MA bertahun-tahun itu. Padahal PK kedua itu tidak pernah ada.

Menghadapi skandal tersebut, Gus Dur bergeming. Ia tetap membiarkan hukum memproses kasus tersebut dan menghindari konfrontasi dengan DPR jika  ia benar-benar mengeluarkan Perpu tersebut seperti yang disarankan.

Sayangnya, pemerintahan Gus Dur berakhir tragis. Keputusan-keputusannya yang selalu bertentangan dengan jajaran pemerintahannya dan dianggap inkonstitusional mengakibatkan dirinya ditendang keluar istana oleh parlemen, MPR yang melantiknya menjadi presiden. 

Impeachment
Berdasarkan fakta sejarah di atas, rasanya patut jika kita mencurigai gelagat presiden mengeluarkan Perpu. Mungkin ini hanya sekadar sensasi untuk menutupi skandal hukum yang lebih besar, bail out Bank Century misalnya. Sehingga pemberitaan media boleh teralihkan seputar kasus MK yang kemudian juga melambungkan wacana dinasti politik.

Perpu MK dimaksudkan SBY sebagai upaya segera penyelematan reputasi lembaga peradilan tertinggi Republik Indonesia, upaya pengembalian kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi yang tercoreng oknum hakim korup. Ibarat kata pepatah, “sebab nila setitik, rusak susu sebelanga.”

Ironis, upaya penyelamatan atau upaya apapun yang dimaksudkan SBY justru kini berbalik menjadi senjata ampuh yang dapat memakzulkan takhta kepresidenannya. Mendekati tahun politis, yakni pemilu 2014, pelbagai fraksi sudah menyatakan terbuka terhadap wacana impeachment (penjatuhan kekuasaan) presiden.
Ditambah, hasil-hasil survei yang kian mengindikatori penurunan popularitas presiden. Hasil survei Pol Tracking Institute Hanta Yudha misalnya, menunjukkan perolehan 51,5% responden tidak puas dengan kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Dengan rincian, 41,5% merasa kurang puas dan 10% sangat tidak puas.

Menguji Diri
Pada penghujung tampuk kepemimpinannya yang digunjingkan gagal ini, Presiden SBY tengah mencobai dirinya. Menguji apakah ketokohannya masih berpengaruh dan mampu mendongkrak elektabilitas partainya mendekati pemilu 2014. Berdasarkan survei LSI pada 12 September dan 5 Oktober 2013 menggunakan metode sampling multistage random sampling dengan responden 1.200 orang dan menggunakan tatap muka langsung, tingkat elektabilitas Demokrat merosot menjadi 9,8%. Yang pada Maret 2013 memperoleh sebesar 11, 7%.

Seperti kata pepatah, sebodoh-bodohnya keledai, ia tidak akan jatuh dua kali di lubang yang sama.”

Bahan Pustaka:
Alvin, Silvanus. [2013, 20 Oktober]. Survei: 51,5% Publik Tak Puas Kerja 4 Tahun SBY-Boediono. Liputan6 [online]. Tersedia : http://news.liputan6.com/read/724725/survei-515-publik-tak-puas-kerja-4-tahun-sby-boediono. [Akses 20 Oktober 2013].
 
Kurniawan, Andy. [2012, Maret]. Pertemuan 4: Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. PDF  Online. Tersedia : http:// andykurniawan.lecture.ub.ac.id/ files/2012/03/ Jenis-Hierarki-Peraturan-Perundangan.pdf. [Akses 20 Oktober 2013].

Mahaputra, Sandy Adam; Dwifantya Aquina. [2013, 19 Oktober]. Presiden SBY Gelar Pertemuan dengan Hakim Konstitusi. Tersedia: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/452420-presiden-sby-gelar-pertemuan-dengan-hakim-konstitusi. [Akses 20 Oktober 2013].

Solihin, Muhamad. [2013, 18 Oktober]. Yusril : Momentum Perpu MK Sudah Terlambat. USUM [online]. Tersedia: http://usum.co/news/read/2013/10/18/yusril-momentum-perpu-mk-sudah-terlambat/. [Akses 20 Oktober 2013].

Perpu Pengawasan MK Bisa Jadi Alat Menurunkan SBY. JPNN [online]. Tersedia: http://www.jpnn.com/read/2013/10/07/194658/Perpu-Pengawasan-MK-Bisa-Jadi-Alat-Menurunkan-SBY-. [Akses 20 Oktober 2013].
 
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/28/0030.html. [Akses 20 Oktober 2013].

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/30/0048.html. [Akses 20 Oktober 2013].

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/13/0107.html. [Akses 20 Oktober 2013].

http://www.minihub.org/siarlist/msg00408.html. [Akses 20 Oktober 2013].