Labels

Sunday, June 23, 2013

Media Sosial = Media Warga

Jurnalisme warga atau Citizen Journalism sesungguhnya bukanlah fenomena baru dalam dunia pewartaan. Sejak media elektronik yang mampu merekam gambar (video) semakin marak, orang-orang mulai memanfaatkannya untuk memperoleh rekaman kejadian-kejadian menarik. Hanya saja, dulu orang-orang ini belum memiliki media yang kece untuk memublikasikannya sendiri. 

Video-video atau foto amatir hanya bisa dipublikasikan melalui media penyiaran professional, dikirim ke redaksi yang bersangkutan, baik media cetak maupun elektronik. Di radio Sonora misalnya, ada program khusus yang menyediakan peluang bagi warga pengguna lalu lintas untuk secara sukarela melaporkan langsung kondisi lalu lintas tempatnya berada.

Namun memang teknologi internet kemudian memicu ledakan pemberitaan-pemberitaan amatir yang pelakunya kita kenal sekarang sebagai jurnalisme warga. Di Indonesia, fenomena ini dimulai sejak peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004. Peristiwa yang meluluhlantahkan wilayah Aceh dengan cepat ini tidak sempat direkam oleh para professional. Dan merupakan peristiwa yang tidak dapat direka ulang pula. Apalagi terhitung posisinya cukup jauh dari ibukota sehingga jauh pula dari kantor-kantor berita pusat. Di sinilah para warga setempat yang mengalami kejadian tersebut secara langsung dan mampu menyaksikannya tanpa terhanyut berperan. Menggunakan kamera dengan resolusi seadanya, mereka merekamkan bagaimana persisnya kronologis kejadian naas ini boleh disaksikan seluruh orang di dunia.

Jurnalisme Warga vs Profesionalitas
Jurnalisme warga maksudnya adalah orang-orang non-profesional, dalam dunia jurnalistik yang secara berkesinambungan mengunggah informasi-informasi menarik yang punya nilai berita melalui media-media pewartaan pribadi, seperti media sosial dan blog. 

Patut kita ketahui bahwa tidak semua informasi yang beredar di media online mengandung kebenaran atau merupakan realita yang terkonfirmasi. Berbeda dengan media kovensional yang beritanya melalui proses seleksi oleh editor, berita di media online dapat ditulis oleh siapa saja tanpa memerlukan keahlian dalam bidang tulis-menulis. Hal inilah yang masih menjadi poin plus bagi masyarakat mengenai jurnalistik professional. Dan di samping itu juga semakin menuntut masyarakatnya semakin cerdas bermedia, cermat dalam memilah mana berita yang kredibel mana yang abal-abal dan cerdas juga menanggapi pemberitaan yang ada.

Pewarta masyarakat atau jurnalisme warga ini contohnya terjadi dalam akun – akun jejaring sosial seperti twitter, facebook dan blog. Jika kita masih ingat, kasus KPK vs POLRI beberapa waktu lalu. Bagaimana mungkin di luar gedung KPK tiba – tiba sudah ada barikade yang menjaga pada pagi buta, pukul 1? Pada masa lampau hal tersebut tidak mungkin terjadi. Jika ada pengepungan atau aksi terobos oleh aparat kepolisian, apalagi pada jam orang tertidur lelap, tewas sudah, terlancarkan sudah aksi polisi tersebut. Namun, kini hal tersebut dapat terjadi karena adanya internet, media sosial, media online, jejaring sosial seperti twitter.

Kemudian masih melekat dalam ingatan kita adalah banjir di Jakarta pada Kamis, 17 Januari 2013 lalu. Terendamnya jalan-jalan protokol Jakarta, seperti Bundaran HI, Daan Mogot dan Grogol, diketahui publik melalui update status dan Twitpic di Twitter. Ada juga peristiwa pengeboman mengenaskan dari Boston yang bisa kita saksikan melalui Youtube. Saya pun menerima berita tersebut pertama kali dari Facebook. Beberapa akun institusi maupun pribadi meng-update-status “pray for Boston” sehingga saya tertarik mencari tahu. Terakhir adalah berita kematian Taufik Kiemas yang juga saya ketahui dari twitter alih-alih TV maupun media online. Pasalnya, sebelum mem-posting berita untuk medianya, tak jarang para jurnalis profesional pun lebih mengutamakan update status di akun jejaring sosial maing-masing.

Mengisi Kekosongan
Begitu banyak peristiwa dari seluruh penjuru dunia. Profesi kewartawanan tidak menjamin keterjangkauan menyeluruh bahkan di jaman yang serba transparan ini. Mungkin hal inilah yang memicu para warga sipil untuk memenuhi, mengisi dan melengkapi kekosongan yang ada dan baik sengaja maupun tidak, telah lengah ditangkap oleh profesional.

Menariknya, media pun semakin berlomba-lomba mengangkat fenomena seksi ini. Metro TV misalnya melalui program Wide Shot. Menurut saya, program semacam  ini sangat tepat untuk menyaring bagi masyarakat mengenai berita-berita amatir yang patut dipercaya, terlepas dari pelbagai kepentingan dan agenda setting media di balik penyiarannya.

No comments:

Post a Comment