Pada
awal dibentuknya, PPMI merupakan kepanjangan dari Perhimpunan Penerbit
Mahasiswa Indonesia. Kini, kata penerbit diubah menjadi pers.
Perhimpunan
Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) adalah sebuah wadah alternatif dan salah satu bagian
dari wadah pers mahasiswa se-Indonesia. PPMI didirikan sejak 15 Oktober 1992
oleh LPM Malang dalam suatu lokakarya pers mahasiswa. Visi PPMI ialah
menciptakan pers mahasiswa sebagai kekuatan pembentuk budaya demokratis.
Tujuan
didirikannya PPMI ialah mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945; dan membina daya upaya perhimpunan untuk
turut mengarahkan pandangan umum di kalangan mahasiswa dengan berorientasi
kemasyarakatan, dan bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam
kepengurusannya, PPMI terdiri dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) se-Nusantara
yang tercakup ke dalam beberapa Dewan Kota. Sejauh ini, sudah terdapat lebih
dari 150 LPM dari 17 Dewan Kota yang tergabung dalam PPMI. Jakarta sendiri
belum termasuk ke dalamnya, karena Jakarta memiliki PPMI Jakarta yang tiada
sangkut-pautnya dengan PPMI Nasional. LPM Oranye dari Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Tarumanagara (FIKom Untar) Jakarta menjadi satu-satunya LPM Jakarta
yang tergabung dalam PPMI Nasional, terhitung sejak Januari 2013.
“Sebenarnya
dulu sempat ada satu dua LPM dari Jakarta yang ikut PPMI. Cuma ya gitu, hilang-timbul. Tidak ada konsistensi kehadiran
apalagi kontribusi,” ungkap Memey, anggota LPM Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM).
Sebagai
wadah pers yang menaungi LPM-LPM se-Indonesia, PPMI berfungsi sebagai mediator antar LPM daerah. Mediator dalam menggelar acara dan
pembacaan isu bersama. Setiap tahun diwacanakan isu bersama yang berbeda dari
tahun sebelumnya.
Anggota persma yang tergabung dalam PPMI berasal dari
latar belakang program studi yang beragam. Jadi anggotanya belum tentu berbasis
jurnalistik atau komunikasi politik, ada yang berasal dari fakultas sastra,
teknik, psikologi, ilmu bumi, hukum, ekonomi, bisnis, sarjana pendidikan,
kedokteran hingga kebidanan. Satu hal yang menyatukan mereka adalah kecintaan
akan dunia jurnalistik yang pro kebenaran.
Oleh karena pelbagai anggota yang berlatar belakang
program studi non-jurnalistik ini, PPMI dalam program kerjanya mencanangkan
beberapa seminar dan pelatihan jurnalistik bagi anggotanya. Pada kesempatan
inilah, LPM antar dewan kota dapat bersua dan berdiksusi, selain sama-sama
belajar bagaimana menulis berita yang baik. Momen perjumpaan PPMI juga digelar
ketika rapat pembukaan, dan rapat evaluasi tengah kepengurusan serta rapat
akhir/penutupan periode.
Terkait
masalah kas dan pendanaannya, sebagai media independen, PPMI sendiri
menghindari intervensi modal-modal besar. “Oleh karena itu, kami juga berusaha
mengoptimalkan media online. Dan
untuk menjaga independensi, tidak ada bantuan dana untuk daerah-daerah.
Kalaupun kami perlu dana untuk acara, kami bisa menggalang dana sendiri dari
organisasional dan alumni.
Kami
agak sensitif dengan dana internasional. Banyak hal dari luar negeri yang tidak
baik untuk kita. Atas nama HAM, mereka memrotoli
NKRI. Atas nama Feminisme, perempuan dijadikan upah negeri sehingga anak-anak
pendidikannya tidak terkawal dengan baik,” tutur Deffy, Sekjend PPMI Periode
2012-2014.
Dalam
situsnya, PPMI sebenarnya membuka kesempatan bagi pemodal untuk beriklan. Namun
hingga kini, belum nampak satu iklan pun pada tampilan situs mereka.
Sejarah : PPMI anak IPMI
Pers
mahasiswa sesungguhnya tidak kalah bergengsi disbanding pers umum atau professional.
Sejarah menuturkan bahwa pers mahasiswa di Indonesia khususnya, sudah lahir
sejak jaman kolonial Belanda. Hanya saja pada masa itu, kurang professional
sehingga tidak diakui kiprahnya.
Era
keemasan pers mahasiswa dimulai sejak tahun 1950-an. Menjamurnya pers mahasiswa
di Indonesia kemudian mendorong Majalah Gama mengambil inisiatif untuk
menyatupadukan pelbagai LPM se-Indonesia. Pada kongres pertamanya, dihasilkan
dua organisasi pers mahasiswa, yakni Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) yang diketuai T. Yacob dan
Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) yang ketuanya adalah Nugroho
Notosusanto.
Kongres
Pers Mahasiswa kedua diadakan pada 16-19 Juli 1958. Hasilnya ialah peleburan
kedua organisasi yang dihasilkan kongres I, yakni IWMI dan SPMI menjadi IPMI
(Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Dengan alasan bahwa praktik antara tugas wartawan
dan usaha pers (penerbitan) sulit untuk dipisahkan.
Berlanjut
pada era Demokrasi Terpimpin, Soekarno mengharuskan pers untuk mencantumkan
Manipol USDEK dalam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) –nya sebagai
syarat terhindar dari penutupan. Hal ini berarti setiap media pers harus
condong pada ideologi politik tertentu. IPMI sebagai lembaga independen
tentunya menolak hal tersebut. Walau sempat mati suri, IPMI kemudian bangkit
menjatuhkan Era Orla (Orde Lama) dan memasuki Era Orba (Orde Baru) dibawah
tampuk kepemimpinan Soeharto.
Sayang,
kejayaan pers mahasiswa juga tidak berlangsung lama pada masa orba. IPMI
kembali mengalami krisis identitas dan kemunduran lainnya hingga ditinggalkan
oleh LPM-LPM-nya. Pasalnya, pemerintah Orba memberlakukan aturan back to campus. Maksudnya, organisasi
kemahasiswaan termasuk pers mahasiswa haruslah beranggotakan murni mahasiswa
yang beraktivitas di dalam kampus. Akibatnya, LPM-LPM yang tergabung dalam IPMI
sibuk sendiri dengan pers kampusnya dan melupakan tanggungjawab nasional yang
dicanangkan bersama.
Maraknya
pembungkaman yang dilakukan penguasa Orde Baru terhadap sejumlah pers pada
tahun 1978 memicu para aktivis pers mahasiswa bersuara sebagai media alternatif.
Kebenaran publik kemudian digemakan oleh pers mahasiswa dengan ciri khas
pemberitaan yang kritis, berani dan keras. Salah satunya dilakukan oleh IPMI
(Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Dan untuk itu, pertama kalinya dalam
sejarah, pada tahun ini, pers mahasiswa juga ikut dibredel.
Setelah
mengalami masa kelam dan mati suri, pers mahasiswa bangkit kembali dari
keterpurukannya sekitar tahun 1990-an. Aktivis dari pelbagai universitas di
seluruh Indonesia mulai memikirkan kembali peranan mereka dalam tatanan politik
dan kehidupan bernegera. Dikomandoi Balairung, Persma (Pers Mahasiswa) UGM
(Universitas Gajah Mada), Yogyakarta, seminar dan pelatihan jurnalistik kembali
digelar secara terbuka.
Melalui
beberapa kongres dan pertemuan itulah dicapai kesepakatan untuk membentuk wadah
nasional media alternatif yang mengedepankan pancasila, menyuarakan kebenaran,
tidak hanya informatif, tetapi juga lugas menyuarakan opini public yang intelek
dan demokratis, yakni melalui Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Kiprah di Dunia Massa
Sewaktu
masih bernama IPMI, PPMI sudah memiliki penerbitan media cetak resmi, yakni Mahasiswa Indonesia (Jabar) dan Mimbar
Demokrasi (Bandung). Keduanya merupakan media cetak harian yang diterbitkan
biro penerangan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang berorientasi
untuk menggulingkan era demokrasi terpimpin.
Konten atau isi karya tulis yang dipersembahkan
PPMI biasanya terkait isu kota, politik, budaya, ekonomi, media dan sosial atau
kemanusiaan.
Mengikuti perkembangan jaman di mana teknologi new media semakin memudahkan gema pers,
LPM di seluruh PPMI kini memiliki akses pewartaan nasional melalui situs.
LPM-LPM yang tergabung terhitung menjadi kontributor dalam pengembangan dan pengisian
rubrik di situs PPMINasional.com.
Selain situs dotcom, PPMI juga memanfaatkan
media massa seperti buku dan film. Beberapa buku hasil kumpulan artikel dan
opini anggota LPM PPMI ialah Menapak jejak PPMI yang menceritakan sejarah dan
eksistensi PPMI; Karnaval Caci Maki yang berisi opini para persma mengenai
carut-marut dunia komunikasi manusia. Tulisan persma PPMI juga seringkali
dimuat di media cetak daerah.
Harapan Sekjend PPMI untuk
keberlangsungan PPMI
“Yang
jelas harapan untuk periodeku ini, mengingatkan kembali bahwa teman-teman LPM
itu hanya LPM, musti bertautan. Masalah kita output-nya nanti ke mana itu terakhir. Yang penting ketika kita
bermedia alternatif ini isu yang kita kawal ini disuarakan bersama. Harus
bareng agar pers mahasiswa ini semakin kuat dan dilihat, tidak hanya menjadi
UKM.
Terutama dilihat oleh publik
Indonesia, khususnya Dewan Pers karena mereka masih meremehkan kita. Padahal
apa yang kita lakukan ini tidak main-main.
Satu
lagi, website kita bersama sekarang
ini masih fokus ke isu kota dan sebagai sekretariat online. Kalau mau berjalan bagus, (situs non-profit) ini ke
depannya kita akan bikin portal berita yang cakupannya lebih luas. Segala angle permasalahan kita bahas di sana
dengan paradigma pers mahasiswa yang apa adanya, tanpa ada kepentingan pemodal.
Dan yang berhak masuk ke sana adalah setiap anggota LPM yang terdaftar dalam
LPM-nya yang diserahkan ke dewan kota dan (selanjutnya) ke dewan nasional.
Bayangkan,
nantinya akan ada portal berita seperti situs dotcom di kota-kota besar. Namun
tulisannya berasal dari kontributor pers mahasiswa di seluruh Indonesia. Jika task ini sukses, sudah, PPMI yang selama
ini dipertanyakan eksistensinya tidak dipandang sebelah mata atau seputar
kampus lagi.”
Sumber : ppminasional.com ;
fikomuntar.blogspot.com
No comments:
Post a Comment