Labels

Saturday, June 22, 2013

Media Independen PPMI




Pada awal dibentuknya, PPMI merupakan kepanjangan dari Perhimpunan Penerbit Mahasiswa Indonesia. Kini, kata penerbit diubah menjadi pers.

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) adalah sebuah wadah alternatif dan salah satu bagian dari wadah pers mahasiswa se-Indonesia. PPMI didirikan sejak 15 Oktober 1992 oleh LPM Malang dalam suatu lokakarya pers mahasiswa. Visi PPMI ialah menciptakan pers mahasiswa sebagai kekuatan pembentuk budaya demokratis.

Tujuan didirikannya PPMI ialah mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945; dan membina daya upaya perhimpunan untuk turut mengarahkan pandangan umum di kalangan mahasiswa dengan berorientasi kemasyarakatan, dan bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam kepengurusannya, PPMI terdiri dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) se-Nusantara yang tercakup ke dalam beberapa Dewan Kota. Sejauh ini, sudah terdapat lebih dari 150 LPM dari 17 Dewan Kota yang tergabung dalam PPMI. Jakarta sendiri belum termasuk ke dalamnya, karena Jakarta memiliki PPMI Jakarta yang tiada sangkut-pautnya dengan PPMI Nasional. LPM Oranye dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara (FIKom Untar) Jakarta menjadi satu-satunya LPM Jakarta yang tergabung dalam PPMI Nasional, terhitung sejak Januari 2013.

“Sebenarnya dulu sempat ada satu dua LPM dari Jakarta yang ikut PPMI. Cuma ya gitu, hilang-timbul. Tidak ada konsistensi kehadiran apalagi kontribusi,” ungkap Memey, anggota LPM Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Sebagai wadah pers yang menaungi LPM-LPM se-Indonesia, PPMI berfungsi sebagai mediator antar LPM daerah. Mediator dalam menggelar acara dan pembacaan isu bersama. Setiap tahun diwacanakan isu bersama yang berbeda dari tahun sebelumnya. 

Anggota persma yang tergabung dalam PPMI berasal dari latar belakang program studi yang beragam. Jadi anggotanya belum tentu berbasis jurnalistik atau komunikasi politik, ada yang berasal dari fakultas sastra, teknik, psikologi, ilmu bumi, hukum, ekonomi, bisnis, sarjana pendidikan, kedokteran hingga kebidanan. Satu hal yang menyatukan mereka adalah kecintaan akan dunia jurnalistik yang pro kebenaran.

Oleh karena pelbagai anggota yang berlatar belakang program studi non-jurnalistik ini, PPMI dalam program kerjanya mencanangkan beberapa seminar dan pelatihan jurnalistik bagi anggotanya. Pada kesempatan inilah, LPM antar dewan kota dapat bersua dan berdiksusi, selain sama-sama belajar bagaimana menulis berita yang baik. Momen perjumpaan PPMI juga digelar ketika rapat pembukaan, dan rapat evaluasi tengah kepengurusan serta rapat akhir/penutupan periode.

Terkait masalah kas dan pendanaannya, sebagai media independen, PPMI sendiri menghindari intervensi modal-modal besar. “Oleh karena itu, kami juga berusaha mengoptimalkan media online. Dan untuk menjaga independensi, tidak ada bantuan dana untuk daerah-daerah. Kalaupun kami perlu dana untuk acara, kami bisa menggalang dana sendiri dari organisasional dan alumni.

Kami agak sensitif dengan dana internasional. Banyak hal dari luar negeri yang tidak baik untuk kita. Atas nama HAM, mereka memrotoli NKRI. Atas nama Feminisme, perempuan dijadikan upah negeri sehingga anak-anak pendidikannya tidak terkawal dengan baik,” tutur Deffy, Sekjend PPMI Periode 2012-2014.

Dalam situsnya, PPMI sebenarnya membuka kesempatan bagi pemodal untuk beriklan. Namun hingga kini, belum nampak satu iklan pun pada tampilan situs mereka.

Sejarah : PPMI anak IPMI
Pers mahasiswa sesungguhnya tidak kalah bergengsi disbanding pers umum atau professional. Sejarah menuturkan bahwa pers mahasiswa di Indonesia khususnya, sudah lahir sejak jaman kolonial Belanda. Hanya saja pada masa itu, kurang professional sehingga tidak diakui kiprahnya.

Era keemasan pers mahasiswa dimulai sejak tahun 1950-an. Menjamurnya pers mahasiswa di Indonesia kemudian mendorong Majalah Gama mengambil inisiatif untuk menyatupadukan pelbagai LPM se-Indonesia. Pada kongres pertamanya, dihasilkan dua organisasi pers mahasiswa, yakni Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) yang diketuai T. Yacob dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI) yang ketuanya adalah Nugroho Notosusanto.

Kongres Pers Mahasiswa kedua diadakan pada 16-19 Juli 1958. Hasilnya ialah peleburan kedua organisasi yang dihasilkan kongres I, yakni IWMI dan SPMI menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Dengan alasan bahwa praktik antara tugas wartawan dan usaha pers (penerbitan) sulit untuk dipisahkan.

Berlanjut pada era Demokrasi Terpimpin, Soekarno mengharuskan pers untuk mencantumkan Manipol USDEK dalam AD/ART (Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga) –nya sebagai syarat terhindar dari penutupan. Hal ini berarti setiap media pers harus condong pada ideologi politik tertentu. IPMI sebagai lembaga independen tentunya menolak hal tersebut. Walau sempat mati suri, IPMI kemudian bangkit menjatuhkan Era Orla (Orde Lama) dan memasuki Era Orba (Orde Baru) dibawah tampuk kepemimpinan Soeharto.

Sayang, kejayaan pers mahasiswa juga tidak berlangsung lama pada masa orba. IPMI kembali mengalami krisis identitas dan kemunduran lainnya hingga ditinggalkan oleh LPM-LPM-nya. Pasalnya, pemerintah Orba memberlakukan aturan back to campus. Maksudnya, organisasi kemahasiswaan termasuk pers mahasiswa haruslah beranggotakan murni mahasiswa yang beraktivitas di dalam kampus. Akibatnya, LPM-LPM yang tergabung dalam IPMI sibuk sendiri dengan pers kampusnya dan melupakan tanggungjawab nasional yang dicanangkan bersama. 

Maraknya pembungkaman yang dilakukan penguasa Orde Baru terhadap sejumlah pers pada tahun 1978 memicu para aktivis pers mahasiswa bersuara sebagai media alternatif. Kebenaran publik kemudian digemakan oleh pers mahasiswa dengan ciri khas pemberitaan yang kritis, berani dan keras. Salah satunya dilakukan oleh IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Dan untuk itu, pertama kalinya dalam sejarah, pada tahun ini, pers mahasiswa juga ikut dibredel.

Setelah mengalami masa kelam dan mati suri, pers mahasiswa bangkit kembali dari keterpurukannya sekitar tahun 1990-an. Aktivis dari pelbagai universitas di seluruh Indonesia mulai memikirkan kembali peranan mereka dalam tatanan politik dan kehidupan bernegera. Dikomandoi Balairung, Persma (Pers Mahasiswa) UGM (Universitas Gajah Mada), Yogyakarta, seminar dan pelatihan jurnalistik kembali digelar secara terbuka.

Melalui beberapa kongres dan pertemuan itulah dicapai kesepakatan untuk membentuk wadah nasional media alternatif yang mengedepankan pancasila, menyuarakan kebenaran, tidak hanya informatif, tetapi juga lugas menyuarakan opini public yang intelek dan demokratis, yakni melalui Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).

Kiprah di Dunia Massa
Sewaktu masih bernama IPMI, PPMI sudah memiliki penerbitan media cetak resmi, yakni Mahasiswa Indonesia (Jabar) dan Mimbar Demokrasi (Bandung). Keduanya merupakan media cetak harian yang diterbitkan biro penerangan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang berorientasi untuk menggulingkan era demokrasi terpimpin.

Konten atau isi karya tulis yang dipersembahkan PPMI biasanya terkait isu kota, politik, budaya, ekonomi, media dan sosial atau kemanusiaan.

Mengikuti perkembangan jaman di mana teknologi new media semakin memudahkan gema pers, LPM di seluruh PPMI kini memiliki akses pewartaan nasional melalui situs. LPM-LPM yang tergabung terhitung menjadi kontributor dalam pengembangan dan pengisian rubrik di situs PPMINasional.com.

Selain situs dotcom, PPMI juga memanfaatkan media massa seperti buku dan film. Beberapa buku hasil kumpulan artikel dan opini anggota LPM PPMI ialah Menapak jejak PPMI yang menceritakan sejarah dan eksistensi PPMI; Karnaval Caci Maki yang berisi opini para persma mengenai carut-marut dunia komunikasi manusia. Tulisan persma PPMI juga seringkali dimuat di media cetak daerah.

Harapan Sekjend PPMI untuk keberlangsungan PPMI
“Yang jelas harapan untuk periodeku ini, mengingatkan kembali bahwa teman-teman LPM itu hanya LPM, musti bertautan. Masalah kita output-nya nanti ke mana itu terakhir. Yang penting ketika kita bermedia alternatif ini isu yang kita kawal ini disuarakan bersama. Harus bareng agar pers mahasiswa ini semakin kuat dan dilihat, tidak hanya menjadi UKM.  

Terutama dilihat oleh publik Indonesia, khususnya Dewan Pers karena mereka masih meremehkan kita. Padahal apa yang kita lakukan ini tidak main-main.

Satu lagi, website kita bersama sekarang ini masih fokus ke isu kota dan sebagai sekretariat online. Kalau mau berjalan bagus, (situs non-profit) ini ke depannya kita akan bikin portal berita yang cakupannya lebih luas. Segala angle permasalahan kita bahas di sana dengan paradigma pers mahasiswa yang apa adanya, tanpa ada kepentingan pemodal. Dan yang berhak masuk ke sana adalah setiap anggota LPM yang terdaftar dalam LPM-nya yang diserahkan ke dewan kota dan (selanjutnya) ke dewan nasional.

Bayangkan, nantinya akan ada portal berita seperti situs dotcom di kota-kota besar. Namun tulisannya berasal dari kontributor pers mahasiswa di seluruh Indonesia. Jika task ini sukses, sudah, PPMI yang selama ini dipertanyakan eksistensinya tidak dipandang sebelah mata atau seputar kampus lagi.”
Sumber : ppminasional.com ; fikomuntar.blogspot.com

No comments:

Post a Comment