JAKARTA
- Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lakso Anindinto
berpendapat bahwa penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK dengan
dasar perluasan pengertian pasal 79 ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2014
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang memasukkan komisi antirasuah
itu sebagai objek penyelidikan angket merupakan jelas-jelas langkah
politik untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
"Tindakan
tersebut patut dicurigai karena dilakukan bersamaan dengan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK terhadap beberapa kasus
yang diduga melibatkan anggota DPR, contohnya perkara KTP elektronik,"
tukas Lakso dihadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat,
Selasa (15/8/2017).
Kehadiran
Lakso Anindinto di MK dalam rangka memenuhi panggilan persidangan
pengujian UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3. Sidang digelar dengan agenda
perbaikan permohonan uji materi hak angket DPR.
Ada
dua perbaikan yang disampaikan Lakso pada sidang kali ini. Pertama,
soal legal standing dia dan pemohon lain yang teregistrasi dengan nomor
perkara 40/PUU-XV/2017, yakni Harun Al Rasyid, Hotman Tambunan, Yadyn
dan Novariza.
"Legal
standing kami sebagai pemohon individu warga negara Indonesia, pembayar
pajak dan pegawai KPK. Sesuai masukan hakim sebelumnya, kami
menghapuskan status pemohon sebagai wadah pegawai agar tidak
membingungkan," urainya.
Perbaikan
kedua, terkait pokok perkara. Lakso menjelaskan, alasannya menggugat
hak angket oleh DPR kepada KPK karena hal tersebut dapat mencederai dua
ciri Indonesia sebagai negara hukum. Pertama, supremasi hukum dan kedua,
pemisahan atau pembatasan kekuasaan.
Lakso
berujar, pentingnya supremasi hukum adalah untuk menjaga independensi
KPK dari segala upaya intervensi berdasarkan kerangka legislasi
nasional. Sementara perihal pemisahan atau pembatasan kekuasaan, dilihat
dari aspek sistem ketatanegaraan KPK sebagai lembaga independen di luar
eksekutif, yudikatif dan legislatif, tidak seharusnya dihak angket.
"Dalam
pasal 79 dijelaskan, subjek yang bisa dikenakan hak angket oleh DPR
adalah pimpinan lembaga bukan lembaganya. Pimpinan lembaga yang
dimaksud, meliputi presiden, wakil presiden, menteri, panglima TNI,
Kapolri, jaksa agung dan pimpinan lembaga nonkementerian," jabarnya.
Lebih
lanjut, Lakso membandingkan perbedaan fungsi KPK, polri dan kejaksaan.
Meskipun sama-sama penegak hukum, perlu diketahui bahwa polri dan
kejaksaan bukan lembaga independen.
"UU
KPK dibentuk berdasarkan amanat reformasi, TAP MPR, UU No 30 Tahun
2002. Pimpinan KPK disebut bebas dari kekuasaan manapun dan tidak
dipilih presiden. Ciri ini tidak ada dalam Polri dan Kejaksaan,"
urainya.
Selain itu,
petinggi Polri dan Kejaksaan dipilih oleh presiden. Sehingga eksekutif
berwenang memberikan arahan kepada mereka karena memang termasuk jajaran
di bawahnya.
Lakso
menegaskan, tugas dan kewenangan KPK juga berbeda dengan Polri dan
Kejaksaan. Kedua lembaga negara yang disebut belakangan dapat menindak
segala jenis pidana. KPK hanya bergerak di ranah tindak pidana korupsi.
"Jadi
sangat logis kalau polri dan kejaksaan bisa diangket DPR. Sebab kalau
mereka ragu menindak kasus dalam tubuh lembaganya sendiri, itu akan
berpengaruh pada fungsi strategis, seperti ketertiban dan keamanan
masyarakat," tandasnya.
Selain
Lakso, majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede
Palguna mendengarkan perbaikan dari pemohon perkara nomor
47/PUU-XV/2017. Pemohon terdiri dari mantan pimpinan KPK Busyro
Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi
Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW)
yang diwakili Muhammad Isnur. Mereka tergabung dalam Tim Advokasi
Selamatkan KPK dari Angket DPR.
Pada
gilirannya, Isnur memaparkan kerugian akibat keberlakuan norma hak
angket DPR tersebut. Ia meyakini ada pelanggaran prinsip-prinsip negara
hukum jika DPR dibiarkan memberlakukan hak angket kepada KPK.
Catatan: hasil liputan yang tidak dimuat.
No comments:
Post a Comment