Labels

Tuesday, June 10, 2014

KRIMINAL SEKALIGUS DISTRIBUTOR ILMU PENGETAHUAN

Menjalani profesi sebagai penjual buku di Pasar Senen berperan selayaknya dua sisi mata uang logam. Di satu sisi barang yang dijualnya merupakan jendela dunia yang mampu mendistribusikan ilmu pengetahuan, sementara di sisi lain mereka juga selaku pelanggar hukum.

Salah satu pedagang buku yang saya jumpai berperawakan besar. Dibalik badannya yang besar itu seolah terselip kepalanya yang kecil. Namun demikian, dengan bangga pedagang buku yang memiliki 5 kios buku di Pasar Senen ini mempromosikan dirinya sebagai yang paling kurus. “Cari aja, mba kalau ke sini. Bilang Egy yang paling kecil.”

Pada umumnya, pedagang-pedagang di Pasar Senen memang kumpulan anggota keluarga yang sama-sama berdagang buku. Egy Kurniawan, misalnya sudah 10 tahun menjalani profesi sebagai pedagang buku di Pasar Senen. Ketika ditanya alasan ia melakoni peran ini, dengan gamblang ia menjawab, “ya, ikut bapak saja. Jadi penjual buku karena mau nerusin usaha bapak.” Selain Egy, adiknya Rudi juga dipercayakan menjaga sebuah kios buku. Jika kios buku Egy ada di gang agak kedalam tepat di Terminal Senen, kios buku yang dipegang Rudi berada di depan gang.

Pedagang muda berumur 29 tahun ini lahir dari ibu seorang Betawi dan ayah asli Medan. Ayah sendiri telah menjadi seorang pedagang buku sejak kepindahannya ke Jakarta tahun 1975. Awalnya para pedagang buku, seperti ayah Egy membuka kios-kiosnya di Lapangan Banteng sebelum kawasan militer peninggalan Hindia Belanda itu dijadikan RSUD Gatot Soebroto dan markas kesatuan marinir TNI Angkatan Laut.

Di gang yang sempit dan sesak oleh kios-kios buku itu Egy berjualan sehari-hari, menemui macam-macam pembeli mulai dari yang ramah hingga yang sadis menawar. Sampai-sampai ia kadang harus rela melepas bukunya dengan keuntungan seribu sampai tiga ribu rupiah saja. Di kiosnya sendiri, buku-buku yang dijajakan mayoritas termasuk buku-buku sejarah, novel sejarah dan sastra. Sementara di kios kedua miliknya, ia menjajakan buku-buku perguruan tinggi.

Bicara soal omzet penjualan sehari-hari, jumlahnya terbilang fantastis. “Kalau sedang ramai, sehari-hari bisa mendapatkan 5-6 juta rupiah,” tutur Egy. Itu baru satu kios yang dikuasainya. Dan keluarganya memiliki 5 kios yang berbeda. Ayahnya menjual buku-buku agama dan adinya Rudi menjual novel dan buku anak-anak. Dan pedagang di sini tidak takut pada Satpol PP. Kata siapa pedagang buku bajakan itu tidak membayar pajak? Buktinya, Egy dan pedagang lain setiap tahunnya harus membayar pajak sewa tempat sekitar 12-15 juta rupiah. Kecuali kios yang ditempatinya, kios yang satu itu sudah Selain itu, tambahnya, “kami juga ada bayar pajak iuran tempat dan listrik per hari masing-masing Rp. 5000, 00. Pajak-pajak tersebut ditagih oleh petugas Pasar Senen yang mereka sebut sebagai tukang karcis dan lampu.

Lain lagi dengan Venny, pedagang buku di gedung Pasar Senen. Berdagang di gedung ber-AC lantai teratas tidak membuat harga sewa tempatnya lebih mahal. Jika harga sewa kios buku di bawah ditagih per tahun. Kios buku di gedung Pasar Senen ditagih per bulan Rp. 500.000, 00 sampai 1,5 juta rupiah per bulan. Di Kwitang, harga sewa kios buku malah mencapai 27 juta per tahun. Sayangnya, beberapa pedagang tidak bersedia mengungkapkan omzet penjualannya.

Mengenai perannya yang digadang-gadang sebagai penjual buku ilegal, para pedagang tersebut mengaku tidak takut pada Satpol PP. “Ya, orang saya jual di tempat yang resmi dan tidak mengganggu badan jalan,” tegas Egy.

Menurut keterangan para pedagang, razia buku bajakan jarang terjadi di daerah mereka. Apabila ada razia pun, biasanya buku-buku akademis dan terbitan Salemba saja yang dirazia. Dan untuk mengantisipasinya, ketika dikatakan ada razia, tentu buku-buku bajakan disimpan di gudang dan kardus-kardus terbawah. Novel-novel terbitan Gramedia, tutur Venny yang sudah berdagang buku sejak 1978, tidak pernah menjadi perhatian aparat yang merazia.

Setali tiga uang dengan pernyataan dan toleransi yang ditunjukkan Kasubdit. Penindakan dan Pemantauan Dirjen HKI Ignatius Budi Prakoso, bahwa masih tingginya permintaan masyarakat akan buku murah menjadi sebab masih disediakannya buku bajakan dengan harga miring di kios-kios macam Pasar Senen dan Kwitang.

Para pedagang buku ini sadar bahwa usaha mereka melanggar hukum namun dalam satu suara mereka berujar, “kalau menjual buku asli semua, kan enggak semuanya perekonomian orang cukup untuk membeli buku-buku asli.”

Dengan demikian, para pedagang ini sesungguhnya menyadari peran ganda mereka. Dan terlepas dari peluang pengayaan diri yang dilakukan mereka, harga buku yang tinggi dan rendahnya jangkauan ekonomi masyarakat menjadi kesenjangan sosial yang memberi celah perbanyakan illegal copy.

Sayangnya, ketika ditanya mengenai pasokan buku bajakan bagi kios mereka, para pedagang sepakat tutup mulut. “Kalau soal itu maah susah, mba. Kami enggak berani bilang, lagian orangnya ganti-ganti yang datang,” jelas seorang pedagang buku di Kwitang yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Menurut keterangan Kabid. Pembajakan Buku IKAPI Johnri Darma Sagar, IKAPI pernah menangkap beberapa agen pembajak di Kalisari. Namun setelah keluar dari penjara, pelakunya berulah lagi dan membuka praktik pembajakan di daerah lain. “Mereka tidak balik lagi ke lokasi awal karena kan ada police line yang mengelilingi.”

No comments:

Post a Comment