Antara Hukum dan
Kebijakan Ekonomi
Dapatkan buku berkualitas mulai
harga Rp. 5000-an. Demikian tulisan yang terpampang di banner sebuah toko buku
murah di pojok timur lantai LG Season City Mall, Jakarta Barat.
Bicara
soal kualitas buku, menurut Anda, apa yang dimaksud dengan dan atau
bagaimanakah buku yang berkualitas itu? Apakah dari segi pencetakannya menjadi
sebuah buku, menggunakan bahan-bahan yang bermutu tinggi? Ataukah dari segi isi
penulisannya yakni pengalaman dan pengetahuan yang dibagi si penulis?
Kritik
menggelitik justru datang dari Kementerian Hukum dan HAM sendiri. “Coba Anda
bayangkan berapa harga buku kalau belum dibajak? Enggak bakal bisa kebeli. Anda
mungkin bisa membeli, tetapi tidak semua orang bisa. Salah satu pendidikan
Indonesia mahal di situ,” ujar Ignatius Budi Prakoso, Kasubdit.
Penindakan dan Pemantauan Dirjen HKI (Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual).
Menanggapi hal tersebut di atas, IKAPI
(Ikatan Penerbit Indonesia) justru berpandangan lain. Kepala bidang (kabid.) Pembajakan Buku
IKAPI DKI Jakarta Johnri Darma Sagar memandang bahwa alasan semacam itu hanya
pembenaran diri semata. “Kalau kita pikir-pikir biaya mahasiswa sudah tinggi
untuk hal-hal lain ketimbang biaya bukunya. Lebih banyak untuk makan, main, handphone, pulsa. Padahal kan dia
tugasnya dari orangtua belajar. Dikasih uang untuk beli buku, kadang-kadang
dipakai untuk hal lain.”
Hak Cipta
Pembajakan
buku dilakukan secara terbuka, terang-terangan dijajakan di lokasi yang sama
selama berpuluh-puluh tahun. Meskipun ada undang-undang yang mengatur penghargaan
terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), pembajakan buku masih saja
merajalela. Institusi penerbitan seperti IKAPI dan Dirjen HKI pun tidak mampu
melalui sidak-sidaknya memberantas pembajakan buku hingga keakar-akarnya.
Penegakan hukum yang lemah terkesan menjadi aksi pembiaran.
Padahal,
hukumnya jelas. Undang-undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta, dalam ketentuan pidana pasal 72 ayat 2 menyatakan barangsiapa dengan
sengaja menyiarkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau
Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Hak
cipta sebagaimana yang dimaksud dalam UU Hak Cipta (UUHC) adalah hak eksklusif
bagi pencipta atau penerima hak (biasanya penerbit, terkait Hak Cipta buku)
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang
berlaku. Ciptaan yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan,
seni dan sastra. Dan buku menjadi salah satu karya yang dilindungi UUHC.
Bicara
soal UUHC, perlu diketahui bahwa yang dimaksud Hak Cipta itu terdiri dari hak
terkait dan hak ekonomi. Ketika kita bicara soal pembajakan, berarti kita
bicara pelanggaran hak ekonomi. “Hak Cipta itu ada hak ekonominya. Hak ekonomi
itulah yang sering dilanggar,” terang Ignatius ketika ditemui di lantai 4
gedung Dirjen HKI pada Selasa, 3 Juni 2014.
“Jadi kalau Indonesia mengacu pada Berne
Convention, hak cipta perlindungannya tidak perlu dengan pendaftaran. Automatically, sejak itu dikreasi
menjadi sebuah ciptaan, memenuhi persyaratan sesuai UUHC, sudah
diimplementasikan ke media artinya itu fix
automatically terprotek (terlindungi),” ujar Kasubdit. Penindakan dan
Pemantauan Dirjen HKI Ignatius Budi Prakoso.
Saat diwawancarai di kantornya yang
baru, sambil merokok Ignatius menyatakan bahwa selama ia bekerja di HKI, para
penulis itu tidak terlalu mementingkan soal perbanyakan karyanya tanpa ijin.
Mereka menurutnya lebih mementingkan persoalan plagiat atau penjiplakan tanpa
ijin buah pemikiran mereka.
“Karena dalam dunia pendidikan, ini akademisi
yang berbicara, dia tidak melihat sektor uang paling banyak, tetapi sektor
reputasi sebagai seorang penulis.”
“Dan Anda yakin juga bahwa penerbitlah yang
melakukan pelanggaran paling banyak.” Penerbit menurutnya juga sering
memberikan sejumlah royalti kepada penulis tidak sesuai dengan jumlah penjualan
buku yang sebenarnya. “Tidak mungkin kan penulis menanyakan mana untung,
penjualan dan pembelian.”
Mengenai
kasus pembajakan buku, Dirjen HKI ternyata belum pernah menindak para penjual
buku bajakan seperti di Pasar Senen maupun Kwitang. Sebab menurut Ignatius, ada
kebijakan ekonomi rakyat yang membiarkan para penjual itu mencari penghasilan
untuk bertahan hidup. Lembaga yang lebih konsen menindak perbanyakan buku tanpa
ijin ialah asosiasi industri buku seperti IKAPI.
“Di
dalam undang-undang kan memperbanyak dan menjual kena hukum. Kenapa? Dia kan
tahu itu bukunya ilegal tapi dijual. Kan melanggar hukum juga. Tapi biasanya
yang menjual itu tuntutannya tidak seberat yang pembajak utamanya ya,” tutur
Johnri.
Fotokopi
buku sudah menjadi praktik yang lumrah di negara kita. Sebenarnya fotokopi saja
sudah termasuk pembajakan, demikian pernyataan Kabid. Pembajakan Buku IKAPI
Johnri Darma S. Akan tetapi, masyarakat rupanya menganggap hal tersebut biasa. Bagaimanan
pun juga yang ingin dibagikan penulis melalui buku adalah ilmu dan
pengetahuannya. Jadi masyarakat menganggap tidak ada bedanya membaca dari buku
bajakan dan buku asli.
Bagaimana
menurut Anda?
No comments:
Post a Comment