Labels

Tuesday, June 10, 2014

Esensi Keilmuan Versus HKI


Antara Hukum dan Kebijakan Ekonomi
Dapatkan buku berkualitas mulai harga Rp. 5000-an. Demikian tulisan yang terpampang di banner sebuah toko buku murah di pojok timur lantai LG Season City Mall, Jakarta Barat.

Bicara soal kualitas buku, menurut Anda, apa yang dimaksud dengan dan atau bagaimanakah buku yang berkualitas itu? Apakah dari segi pencetakannya menjadi sebuah buku, menggunakan bahan-bahan yang bermutu tinggi? Ataukah dari segi isi penulisannya yakni pengalaman dan pengetahuan yang dibagi si penulis?

Kritik menggelitik justru datang dari Kementerian Hukum dan HAM sendiri. “Coba Anda bayangkan berapa harga buku kalau belum dibajak? Enggak bakal bisa kebeli. Anda mungkin bisa membeli, tetapi tidak semua orang bisa. Salah satu pendidikan Indonesia mahal di situ,” ujar Ignatius Budi Prakoso, Kasubdit. Penindakan dan Pemantauan Dirjen HKI (Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual).

Menanggapi hal tersebut di atas, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) justru berpandangan lain. Kepala bidang (kabid.) Pembajakan Buku IKAPI DKI Jakarta Johnri Darma Sagar memandang bahwa alasan semacam itu hanya pembenaran diri semata. “Kalau kita pikir-pikir biaya mahasiswa sudah tinggi untuk hal-hal lain ketimbang biaya bukunya. Lebih banyak untuk makan, main, handphone, pulsa. Padahal kan dia tugasnya dari orangtua belajar. Dikasih uang untuk beli buku, kadang-kadang dipakai untuk hal lain.”

Hak Cipta
Pembajakan buku dilakukan secara terbuka, terang-terangan dijajakan di lokasi yang sama selama berpuluh-puluh tahun. Meskipun ada undang-undang yang mengatur penghargaan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), pembajakan buku masih saja merajalela. Institusi penerbitan seperti IKAPI dan Dirjen HKI pun tidak mampu melalui sidak-sidaknya memberantas pembajakan buku hingga keakar-akarnya. Penegakan hukum yang lemah terkesan menjadi aksi pembiaran.

Padahal, hukumnya jelas. Undang-undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dalam ketentuan pidana pasal 72 ayat 2 menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Hak cipta sebagaimana yang dimaksud dalam UU Hak Cipta (UUHC) adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak (biasanya penerbit, terkait Hak Cipta buku) untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku. Ciptaan yang dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dan buku menjadi salah satu karya yang dilindungi UUHC.

Bicara soal UUHC, perlu diketahui bahwa yang dimaksud Hak Cipta itu terdiri dari hak terkait dan hak ekonomi. Ketika kita bicara soal pembajakan, berarti kita bicara pelanggaran hak ekonomi. “Hak Cipta itu ada hak ekonominya. Hak ekonomi itulah yang sering dilanggar,” terang Ignatius ketika ditemui di lantai 4 gedung Dirjen HKI pada Selasa, 3 Juni 2014.

“Jadi kalau Indonesia mengacu pada Berne Convention, hak cipta perlindungannya tidak perlu dengan pendaftaran. Automatically, sejak itu dikreasi menjadi sebuah ciptaan, memenuhi persyaratan sesuai UUHC, sudah diimplementasikan ke media artinya itu fix automatically terprotek (terlindungi),” ujar Kasubdit. Penindakan dan Pemantauan Dirjen HKI Ignatius Budi Prakoso.

Saat diwawancarai di kantornya yang baru, sambil merokok Ignatius menyatakan bahwa selama ia bekerja di HKI, para penulis itu tidak terlalu mementingkan soal perbanyakan karyanya tanpa ijin. Mereka menurutnya lebih mementingkan persoalan plagiat atau penjiplakan tanpa ijin buah pemikiran mereka.

“Karena dalam dunia pendidikan, ini akademisi yang berbicara, dia tidak melihat sektor uang paling banyak, tetapi sektor reputasi sebagai seorang penulis.”

“Dan Anda yakin juga bahwa penerbitlah yang melakukan pelanggaran paling banyak.” Penerbit menurutnya juga sering memberikan sejumlah royalti kepada penulis tidak sesuai dengan jumlah penjualan buku yang sebenarnya. “Tidak mungkin kan penulis menanyakan mana untung, penjualan dan pembelian.”

Mengenai kasus pembajakan buku, Dirjen HKI ternyata belum pernah menindak para penjual buku bajakan seperti di Pasar Senen maupun Kwitang. Sebab menurut Ignatius, ada kebijakan ekonomi rakyat yang membiarkan para penjual itu mencari penghasilan untuk bertahan hidup. Lembaga yang lebih konsen menindak perbanyakan buku tanpa ijin ialah asosiasi industri buku seperti IKAPI.

“Di dalam undang-undang kan memperbanyak dan menjual kena hukum. Kenapa? Dia kan tahu itu bukunya ilegal tapi dijual. Kan melanggar hukum juga. Tapi biasanya yang menjual itu tuntutannya tidak seberat yang pembajak utamanya ya,” tutur Johnri.

Fotokopi buku sudah menjadi praktik yang lumrah di negara kita. Sebenarnya fotokopi saja sudah termasuk pembajakan, demikian pernyataan Kabid. Pembajakan Buku IKAPI Johnri Darma S. Akan tetapi, masyarakat rupanya menganggap hal tersebut biasa. Bagaimanan pun juga yang ingin dibagikan penulis melalui buku adalah ilmu dan pengetahuannya. Jadi masyarakat menganggap tidak ada bedanya membaca dari buku bajakan dan buku asli.

Bagaimana menurut Anda?

No comments:

Post a Comment