Labels

Monday, November 30, 2015

Pengamat Intelijen Minta Negara Barat Turunkan Tensi dalam Menghadapi ISIS

Isu terorisme selalu digolongkan sebagai sesuatu yang rumit, saling berkaitan, multidimensional yang bukan melulu masalah militer. Sederhananya, isu ini bukan sesuatu yang biasa, rasanya asing, luar biasa menakutkan, mengagetkan, datangnya tidak disertai gejala yang dikenal dan terasa dekat hingga sepertinya mampu datang kapanpun di waktu yang tak terduga.

Demikian kata Pakar Intelijen dari Badan Penanggulanangan Nasional Teroris (BNPT) Wawan Hari Purwanto ketika dijumpai penulis pada acara Dialog Publik antara Media dan Pakar yang diselenggarakan DEMA FISIP UIN Jakarta di Aula Madya lantai 1, Kampus II UIN, Ciputat, Jakarta Selatan pada Jumat 27 November 2015.

“Tapi polanya selalu sama. Teroris selalu mengubah sasaran secara drastis termasuk tempat, waktu dan cara-cara yang ditempuhnya,” ungkap Wawan.

Dari kiri ke kanan: Moderator, Wawan H. Purwanto, Karyono dan Imdadun Rahmat
Ia menambahkan, teroris khususnya sangat menyukai tempat ramai atau kerumunan, tempat-tempat bersejarah dan memiliki representasi atau simbol-simbol tertentu. Sebab serangan-serangan di tempat yang demikian mampu memberi dampak yang luas. Sesuai target mereka, rasa takut dan adidaya mereka akan lebih terekspos dan menyebar di benak publik.

“Enggak mungkin kan mereka nge-Bom atau nembakin di tempat sepi dan terpencil. Siapa yang mau ditembak, jin gundul? Wah, kelihatan saja kaga, apa yang bisa dibom? Ada juga nanti jinnya pada marah,” celoteh Wawan mengundang gelak tawa hadirin.

Mengenai berbagai penyerangan terhadap ISIS yang belakangan digencarkan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, pria berkaca mata yang berprofesi sebagai pengamat intelijen ini menilai, sebaiknya semua kepala negara itu menurunkan tensi. Sebab saat situasi sedang memanas, penggempuran hanya akan memunculkan kekuatan sentimen baru. Jadinya semakin memanas dan menimbulkan sakit hati berkepanjangan.

Karena pada dasarnya kan rakyat ingin hidup tenang, sejahtera. Melakukan bisnis, nonton konser dan menyaksikan pertandingan sepak bola dengan aman. Tidak dengan perpecahan akibat politik seperti ini,” ujarnya seusai acara.

Dalam diskusi publik yang bertema “Menyikapi Gerakan ISIS di Indonesia dan menyikapi serangan teroris di Paris” ini juga turut mengundang Staf Ahli Anggota Komisi III DPR Karyono, Anggota Komnas HAM sekaligus tokoh NU M. Imdadun Rahmat dan Jurnalis Internasional Gatra Ade Faizal Alami.

Menurut Imdadun, selama Indonesia menjaga keberagamannya dan tidak memojokkan umat beragama lain, maka terorisme ISIS tidak akan mampu merangsek masuk ke Indonesia.

“Kebencian terhadap kelompok Syiah contohnya begitu luar biasa. Ini baru hipotesis, jika Syiah mengalami radikalisasi alias semakin condong ke Iran, dan Ke-Indonesiaannya meluntur. Apalagi ikut-ikutan membangun jaringan militant, maka akan pecah kekerasan di Indonesia ini,” kata Imdadun.

Kedua pembicara lain juga sepakat bahwa faktor utama penyebab radikalisme atau yang akrab disebut terorisme diakibatkan kemiskinan, pendidikan, marjinalisasi, otoritarian dan standar ganda negara maju.

Untuk itu, apabila Indonesia ingin menangkal terorisme masuk ke negara ini, maka pemerintah perlu mengupayakan pemberantasan terhadap kemiskinan dan meningkatkan mutu pendidikan.

CATATAN: Hasil liputan yang tidak dimuat.

No comments:

Post a Comment