Isu
terorisme selalu digolongkan
sebagai sesuatu
yang rumit, saling berkaitan, multidimensional yang bukan melulu masalah
militer. Sederhananya, isu ini bukan sesuatu yang biasa, rasanya asing, luar
biasa menakutkan, mengagetkan, datangnya tidak disertai gejala yang dikenal dan
terasa dekat hingga sepertinya mampu datang kapanpun di waktu yang tak terduga.
Demikian
kata Pakar Intelijen dari Badan Penanggulanangan Nasional Teroris (BNPT) Wawan
Hari Purwanto ketika dijumpai penulis pada acara Dialog Publik antara Media dan
Pakar yang diselenggarakan DEMA FISIP UIN Jakarta di Aula Madya lantai 1,
Kampus II UIN, Ciputat, Jakarta Selatan pada Jumat 27 November 2015.
“Tapi polanya selalu sama. Teroris selalu mengubah sasaran secara drastis
termasuk tempat, waktu dan cara-cara yang ditempuhnya,” ungkap Wawan.
Dari kiri ke kanan: Moderator, Wawan H. Purwanto, Karyono dan Imdadun Rahmat |
Ia
menambahkan, teroris khususnya sangat menyukai tempat ramai atau kerumunan,
tempat-tempat bersejarah dan memiliki representasi atau simbol-simbol tertentu.
Sebab serangan-serangan di tempat yang demikian mampu memberi dampak yang luas.
Sesuai target mereka, rasa takut dan adidaya mereka akan lebih terekspos dan
menyebar di benak publik.
“Enggak
mungkin kan mereka nge-Bom atau nembakin di tempat sepi dan terpencil. Siapa
yang mau ditembak, jin gundul? Wah, kelihatan saja kaga, apa yang bisa dibom? Ada
juga nanti jinnya pada marah,” celoteh Wawan mengundang gelak tawa hadirin.
Mengenai
berbagai penyerangan terhadap ISIS yang belakangan digencarkan negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat, pria berkaca mata yang berprofesi sebagai pengamat
intelijen ini menilai, sebaiknya semua kepala negara itu menurunkan tensi.
Sebab saat situasi sedang memanas, penggempuran hanya akan memunculkan kekuatan
sentimen baru. Jadinya semakin memanas dan menimbulkan sakit hati
berkepanjangan.
“Karena pada dasarnya kan rakyat ingin
hidup tenang, sejahtera. Melakukan bisnis, nonton konser dan menyaksikan
pertandingan sepak bola dengan aman. Tidak dengan perpecahan akibat politik
seperti ini,” ujarnya seusai acara.
Dalam diskusi publik yang bertema
“Menyikapi Gerakan ISIS di Indonesia dan menyikapi serangan teroris di Paris”
ini juga turut mengundang Staf Ahli Anggota Komisi III DPR Karyono, Anggota
Komnas HAM sekaligus tokoh NU M. Imdadun Rahmat dan Jurnalis Internasional
Gatra Ade Faizal Alami.
Menurut
Imdadun, selama Indonesia menjaga keberagamannya dan tidak memojokkan umat
beragama lain, maka terorisme ISIS tidak akan mampu merangsek masuk ke
Indonesia.
“Kebencian
terhadap kelompok Syiah contohnya begitu luar biasa. Ini baru hipotesis, jika
Syiah mengalami radikalisasi alias semakin condong ke Iran, dan
Ke-Indonesiaannya meluntur. Apalagi ikut-ikutan membangun jaringan militant,
maka akan pecah kekerasan di Indonesia ini,” kata Imdadun.
Kedua
pembicara lain juga sepakat bahwa faktor utama penyebab radikalisme atau yang
akrab disebut terorisme diakibatkan kemiskinan, pendidikan, marjinalisasi,
otoritarian dan standar ganda negara maju.
Untuk itu,
apabila Indonesia ingin menangkal terorisme masuk ke negara ini, maka
pemerintah perlu mengupayakan pemberantasan terhadap kemiskinan dan
meningkatkan mutu pendidikan.
CATATAN: Hasil liputan yang tidak dimuat.