Merupakan
sebuah fakta bahwa kini perempuan memiliki kebebasan dalam menggapai
cita-citanya, setara dengan lelaki. Perempuan boleh bersekolah, bekerja di luar
rumah dan berkarir hingga ke jenjang politik sekalipun. Persis seperti yang diidam-idamkan
tokoh emansipasi kita, R.A.Kartini.
Pada
masa Kartini, perempuan di Indonesia selalu dihubung-hubungkan dengan segala
tetek-bengek rumah tangga. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk memilih
sekehendak hati mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa perempuan Indonesia tidak
memiliki kebebasan sama sekali. Segala sesuatunya ditentukan orangtua atau
orang yang lebih dewasa. Tidak hanya dalam hal pendidikan dan perilaku, jodoh
pun ditetapkan orangtua.
Mimpi
Kartini, sekaligus hal yang paling ia perjuangkan ialah terpenuhinya hak
perempuan terutama dalam hal pendidikan yang setara dengan kaum lelaki. Lebih
dari itu ialah hak-hak asasi perempuan dan kebebasan memilih bagi kaumnya.
Sudah
tercapaikah cita-cita beliau? Dalam hal pendidikan, ya, sudah tercapai walaupun
belum merata. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan ialah keabsahan makna
kebebasan yang ingin diperjuangkan Kartini. Sudahkah perempuan Indonesia
memperoleh kebebasan seutuhnya? Bagaimanakah definisi kebebasan itu?
Emansipasi
perempuan, maksudnya ialah penyetaraan, persamaan hak dan derajat antara kaum
perempuan dan lelaki dalam pelbagai aspek, terkecuali hal-hal kodrati. Bicara
emansipasi erat kaitannya dengan kebebasan. Kebebasan menggambarkan kondisi
yang merdeka, terlepas dari kungkungan serta kemandirian. Kebebasan berarti
tidak ada batasan.
Namun
apa, kenyataannya dalam kebebasan itulah perempuan menjadi budak. Mereka bebas
bekerja, tetapi mereka masih terbatas. Kata bebas bukanlah hal yang tepat.
Mereka boleh bekerja atau harus bekerja?
Semua Demi Anak
Herni, misalnya, buruh rumah tangga berusia 41 tahun. Tubuhnya kecil, berkulit sawo matang seperti orang Jawa pada umumnya. Namun demikian, kedutan lengan dan betisnya kencang tak melambai. Maklum, sehari-hari ia melatih otot tangannya dengan mencuci dan menggosok, serta menyapu dan mengepel lantai.
Dari
kampungnya di Salatiga, Herni pertama kali berangkat ke Jakarta sekitar 20
tahun yang lalu. Hanya lulusan SD, ia berjuang menjalani usia produktifnya
dengan bekerja sebagai buruh pabrik plastik di daerah Jembatan dua (kini
menjadi area ruko yang dikenal dengan nama Permata Kota). Di sanalah ia bersua
dengan pujaan hatinya, yang kini telah membuahinya 2 orang anak bernama Nila
Alviani (21) dan Harry Angga Pinanggi (18).
Sayang,
baru setahun masuk, pabrik tempatnya bekerja bangkrut. Herni pun terpaksa
kehilangan pekerjaan. Ia kembali ke kampung dan mengenalkan kekasihnya, hendak
menikah. Ayahnya menentang. Kala itu ibunya sudah meninggal hingga tak satu
orang pun mendukung pilihannya.
Herni
kembali ke Jakarta. Tanpa penghasilan, Herni tidak mampu membayar sewa kontrakan lagi. Jadilah ia menumpang di
rumah kekasihnya. Walau tanpa restu, Herni dan calon suaminya tetap
melangsungkan pernikahan di Indramayu, kampung suaminya. Hingga anak kedua
lahir, barulah sang ayah merestui hubungan mereka.
13
tahun menikah, Herni hidup bergantung pada suaminya sebagai pencari nafkah
tunggal. Naas, sejak suaminya kehilangan pekerjaan tetap dan berpenghasilan
serabutan, perlakuan suaminya mulai berubah. Dipicu beban yang berat dan
pergaulan yang buruk. Minuman keras sering kali menjadi pelariannya. Kehidupan
rumah tangga Herni mulai memburuk. Keduanya jadi sering bertengkar. Gosip-gosip
miring pun beredar. Kemudian, suaminya tiba-tiba menikah lagi. Kecewa dan takut
ditinggalkan mendorong Herni mencari biaya tambahan demi menghidupi diri dan
kedua buah hatinya.
“Mau
bagaimana lagi? Ini semua untuk anak,” ujarnya.
Setiap
hari, Herni bangun pukul 5. Selepas shalat shubuh, ia bersiap-siap dan pergi ke
pasar. Herni selalu datang tepat waktu. Pukul 08.00 hingga pukul 12.00, ia
melakoni profesinya. Mencuci, menggosok, menyapu dan mengepel 2 rumah. Kerjanya
cekatan, cepat dan rapi. Peluh keringat tidak menjadi pematah ara. Masih dengan
senyuman ia menyapa pemilik rumah atau sekadar pamit pulang.
Sesampainya
di rumah, Herni tidak lantas beristirahat. Bagaimana pun, Herni adalah seorang
ibu rumah tangga. Sebelum anak-anaknya berangkat kerja dan kuliah, ia masih
harus menyiapkan makanan. Pukul 15.00 barulah ia kembali bekerja. 3 rumah
setiap harinya. Pekerjaannya memang memaksa Herni bekerja 7 hari dalam
seminggu. Pasalnya, majikan-majikannya akan kelimpungan jika ia tidak masuk.
Misalnya, pakaian kotor yang menumpuk.
Ya,
Herni hanyalah salah satunya. Masih banyak Herni-Herni lain di luar sana.
Faktanya, kini setiap perempuan memainkan peran ganda. Mereka adalah seorang istri
yang melayani suami, ibu yang mengurusi rumah tangga dan mengasuh anak, serta
pencari nafkah bagi keluarga.
Kesimpulan
Pasca
era Kartini, perempuan Indonesia boleh dikatakan bebas. Namun kebebasan tidak
sesederhana itu. Perempuan Indonesia masih dibebani urusan dapur. Masyarakat
kita masih saja berpandangan bahwa perempuan harus bisa memasak dan mengurus
rumah tangga. Pandangan itu baik adanya, asal tidak memaksa.
Beban
dan tanggung jawab perempuan meningkat seiring tuntutan jaman. Kebutuhan akan
pemenuhan ekonomi semakin meningkat. Selain mengurus rumah, ada saja
orang-orang yang berdalih bahwa perempuan seharusnya juga bekerja. Bantu suami
nafkahi keluarga. Berdiam diri di rumah dianggap pemalas.
Ketika
kebebasan itu diperoleh, sifatnya hanya permisif. Kebebasan yang ada haruslah
diiringi tanggungjawab. Dan tanggungjawab memberi kita batasan-batasan.
Kebebasan yang bertanggungjawab ialah kebebasan yang semu. Namun kita masih
diberi pilihan. Itulah yang mungkin menjadi tonggak kemajuan kaum perempuan,
yakni keterbukaan terhadap pilihan hidup.