Pada
umumnya, kita mengenal 2 jenis kecerdasan, yakni IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional
Quotient). IQ atau kecerdasan intelektual atau rasional ialah kecerdasan
yang digunakan untuk memecahkan masalah atau hal-hal yang berkaitan dengan
logika dan strategis. EQ atau kecerdasan emosional adalah kecerdasan yang
memberi kita kesadaran mengenai dan kemampuan menanggapi perasaan milik diri
sendiri dan milik orang lain.
Pada
akhir abad ke-20 barulah ditemukan satu kecerdasan lagi yang dianggap sama
penting dengan IQ dan EQ. Kecerdasan yang dimaksud ialah kecerdasan spiritual
atau SQ (Spiritual Quotient). SQ
merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai,
yaitu kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk memahami tentang diri kita dan makna
segala sesuatu bagi kita. SQ juga mampu menjadikan kita sadar bahwa kita
memiliki masalah dan membuat kita mampu mengatasinya atau setidaknya bisa
berdamai dengan masalah tersebut.
Sering
kali orang sulit membedakan SQ dan EQ, ada juga yang berasumsi bahwa SQ sama
dengan beragama. Ketiga hal tersebut sesungguhnya berbeda, mirip tapi tak
serupa. Perbedaan penting antara SQ dan EQ terletak pada daya ubahnya. EQ
bertindak tergantung situasi, ia diarahkan oleh situasi. Sementara SQ, ia
bertindak sesuai kata nuraninya, menguasai situasi bukan sebaliknya. SQ juga
berbeda dengan agama. Agama formal adalah seperangkat aturan dan kepercayaan
yang dibebankan secara eksternal. SQ ialah kemampuan internal bawaan otak dan
jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri. SQ
membuat agama menjadi mungkin (bahkan mungkin perlu), tetapi SQ tidak
bergantung pada agama maupun budaya dan nilai manapun.
Berpikir
menyatukan merupakan ciri utama kesadaran dan kunci dalam memahami argumen
neurologis dari SQ. Baik dari sudut pandang neurologi maupun fisika, kesadaran
SQ merupakan suatu kemampuan bawaan dari otak kita dan dari hubungan mereka
dengan realitas. SQ merupakan pusat
kesadaran manusia. Ia merupakan suatu yang mutlak dan ada dalam diri manusia
sejak manusia itu ada. Oleh karena itu, kita tidak harus diberi cahaya SQ oleh
orang lain. SQ sesungguhnya tidak perlu untuk dipelajari atau diwarisi. Kita
menemukan SQ dalam diri kita sendiri, sesuatu yang nyata dan baru. Usaha
mencari-cari SQ justru akan menghambat kita menemukan SQ.
SQ
juga dapat dikatakan sebagai keseimbangan batin. Berbeda dengan IQ yang
orientasinya aturan, EQ yang tergantung situasi, SQ lebih merupakan intuisi
yang memampukan kita memperoleh kebijaksanaan dan pemahaman yang mendalam
mengenai segala sesuatunya.
Kesadaran
diri yang tinggi, kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi masalah
menunjukkan tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi. SQ yang tinggi menuntut
kita untuk benar-benar jujur kepada diri kita, terbuka kepada pengalaman dan
memandang dunia dan kehidupan dengan cara yang baru seperti kesadaran batiniah
anak-anak. SQ tinggi menuntut kita menghadapi pilihan dan menyadari bahwa
terkadang pilihan yang tepat merupakan pilihan yang sulit. SQ menuntut kita
untuk tidak lagi mencari perlindungan dalam pengetahuan kita, hidup dengan
pertanyaan bukan jawaban.
Pendapat :
Buku
SQ ini sangat membantu kita memahami kecerdasan lain dalam diri kita yang
berbeda dengan kecerdasan intelektual dan emosional, yakni kecerdasan
spiritual. Penulis mampu merangkaikan pengertian dan memanfaatkan metafora
seperti teratai diri dalam menjelaskan eksistensi SQ dalam diri manusia. Hanya
saja bahasanya yang agak berputar-putar seringkali membuat pembaca bingung dan
malas melanjutkannya. Kemudian contoh-contoh spiritual yang dipaparkan, seperti
mengenai mimpi penulis menjadi bias bagi pembaca. Ada kemungkinan pembaca
menginterpretasikannya sebagai ajaran untuk memercayai mitos-mitos dan hal-hal
“spiritual” dalam artian hal-hal gaib. Secara keseluruhan buku ini baik untuk
dibaca, terutama bagi mereka yang berusaha menemukan makna kehidupan dan
keseimbangan batin.
Source : Buku Spiritual Quotient