Salah satu
pedagang buku yang saya jumpai berperawakan besar. Dibalik badannya yang besar
itu seolah terselip kepalanya yang kecil. Namun demikian, dengan bangga
pedagang buku yang memiliki 5 kios buku di Pasar Senen ini mempromosikan
dirinya sebagai yang paling kurus. “Cari aja, mba kalau ke sini. Bilang Egy
yang paling kecil.”
Pada umumnya,
pedagang-pedagang di Pasar Senen memang kumpulan anggota keluarga yang
sama-sama berdagang buku. Egy Kurniawan, misalnya sudah 10 tahun menjalani
profesi sebagai pedagang buku di Pasar Senen. Ketika ditanya alasan ia melakoni
peran ini, dengan gamblang ia menjawab, “ya, ikut bapak saja. Jadi penjual buku
karena mau nerusin usaha bapak.” Selain Egy, adiknya Rudi juga dipercayakan
menjaga sebuah kios buku. Jika kios buku Egy ada di gang agak kedalam tepat di
Terminal Senen, kios buku yang dipegang Rudi berada di depan gang.
Pedagang muda
berumur 29 tahun ini lahir dari ibu seorang Betawi dan ayah asli Medan. Ayah
sendiri telah menjadi seorang pedagang buku sejak kepindahannya ke Jakarta
tahun 1975. Awalnya para pedagang buku, seperti ayah Egy membuka kios-kiosnya
di Lapangan Banteng sebelum kawasan militer peninggalan Hindia Belanda itu
dijadikan RSUD Gatot Soebroto dan markas kesatuan marinir TNI Angkatan Laut.
Di gang yang
sempit dan sesak oleh kios-kios buku itu Egy berjualan sehari-hari, menemui
macam-macam pembeli mulai dari yang ramah hingga yang sadis menawar.
Sampai-sampai ia kadang harus rela melepas bukunya dengan keuntungan seribu
sampai tiga ribu rupiah saja. Di kiosnya sendiri, buku-buku yang dijajakan
mayoritas termasuk buku-buku sejarah, novel sejarah dan sastra. Sementara di
kios kedua miliknya, ia menjajakan buku-buku perguruan tinggi.
Bicara soal omzet
penjualan sehari-hari, jumlahnya terbilang fantastis. “Kalau sedang ramai,
sehari-hari bisa mendapatkan 5-6 juta rupiah,” tutur Egy. Itu baru satu kios
yang dikuasainya. Dan keluarganya memiliki 5 kios yang berbeda. Ayahnya menjual
buku-buku agama dan adinya Rudi menjual novel dan buku anak-anak. Dan pedagang
di sini tidak takut pada Satpol PP. Kata siapa pedagang buku bajakan itu tidak
membayar pajak? Buktinya, Egy dan pedagang lain setiap tahunnya harus membayar
pajak sewa tempat sekitar 12-15 juta rupiah. Kecuali kios yang ditempatinya,
kios yang satu itu sudah Selain itu, tambahnya, “kami juga ada bayar pajak
iuran tempat dan listrik per hari masing-masing Rp. 5000, 00. Pajak-pajak
tersebut ditagih oleh petugas Pasar Senen yang mereka sebut sebagai tukang
karcis dan lampu.
Lain lagi dengan
Venny, pedagang buku di gedung Pasar Senen. Berdagang di gedung ber-AC lantai
teratas tidak membuat harga sewa tempatnya lebih mahal. Jika harga sewa kios
buku di bawah ditagih per tahun. Kios buku di gedung Pasar Senen ditagih per
bulan Rp. 500.000, 00 sampai 1,5 juta rupiah per bulan. Di Kwitang, harga sewa
kios buku malah mencapai 27 juta per tahun. Sayangnya, beberapa pedagang tidak
bersedia mengungkapkan omzet penjualannya.
Mengenai
perannya yang digadang-gadang sebagai penjual buku ilegal, para pedagang
tersebut mengaku tidak takut pada Satpol PP. “Ya, orang saya jual di tempat
yang resmi dan tidak mengganggu badan jalan,” tegas Egy.
Menurut
keterangan para pedagang, razia buku bajakan jarang terjadi di daerah mereka.
Apabila ada razia pun, biasanya buku-buku akademis dan terbitan Salemba saja
yang dirazia. Dan untuk mengantisipasinya, ketika dikatakan ada razia, tentu
buku-buku bajakan disimpan di gudang dan kardus-kardus terbawah. Novel-novel
terbitan Gramedia, tutur Venny yang sudah berdagang buku sejak 1978, tidak
pernah menjadi perhatian aparat yang merazia.
Setali tiga uang
dengan pernyataan dan toleransi yang ditunjukkan Kasubdit. Penindakan
dan Pemantauan Dirjen HKI Ignatius Budi Prakoso, bahwa masih tingginya
permintaan masyarakat akan buku murah menjadi sebab masih disediakannya buku
bajakan dengan harga miring di kios-kios macam Pasar Senen dan Kwitang.
Para
pedagang buku ini sadar bahwa usaha mereka melanggar hukum namun dalam satu
suara mereka berujar, “kalau menjual buku asli semua, kan enggak semuanya
perekonomian orang cukup untuk membeli buku-buku asli.”
Dengan
demikian, para pedagang ini sesungguhnya menyadari peran ganda mereka. Dan
terlepas dari peluang pengayaan diri yang dilakukan mereka, harga buku yang
tinggi dan rendahnya jangkauan ekonomi masyarakat menjadi kesenjangan sosial
yang memberi celah perbanyakan illegal
copy.
Sayangnya,
ketika ditanya mengenai pasokan buku bajakan bagi kios mereka, para pedagang
sepakat tutup mulut. “Kalau soal itu maah susah, mba. Kami enggak berani
bilang, lagian orangnya ganti-ganti yang datang,” jelas seorang pedagang buku
di Kwitang yang tidak bersedia disebutkan namanya.
Menurut
keterangan Kabid. Pembajakan Buku IKAPI Johnri Darma Sagar, IKAPI pernah
menangkap beberapa agen pembajak di Kalisari. Namun setelah keluar dari
penjara, pelakunya berulah lagi dan membuka praktik pembajakan di daerah lain.
“Mereka tidak balik lagi ke lokasi awal karena kan ada police line yang mengelilingi.”