Di
penghujung akhir periode pemerintahannya, Presiden SBY nampaknya tengah menguji
diri. Dengan pelbagai masalah negara yang merundunginya, tak henti-henti ia
menciptakan sensasi. Perhatikan saja gelagat beliau yang semakin banyak
berbicara, meracukan instruksi –instruksi dan keputusan-keputusan yang tidak
jelas hasilnya.
Kebulatan
Presiden SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan
(Perpu) No. 1 Tahun 2013 menunjukkan bahwa ia tidak belajar dari sejarah. Atau
mungkin memang sengaja mengulang sejarah demi suatu maksud dan tujuan yang
terselubung.
Sesuai
dengan yang diberitakan akhir-akhir ini, Presiden SBY telah menandatangani
Perpu yang konon demi penyelamatan reputasi MK tersebut guna diajukan sebagai
perubahan kedua atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi di
Yogyakarta pada Kamis malam, 17 Oktober 2013, tepat 2 minggu setelah
penangkapan KPK atas
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Ada tiga hal penting yang disampaikan
Presiden SBY dalam Perpu tersebut. Pertama adalah penambahan persyaratan untuk
menjadi hakim konstitusi. Substansi kedua ialah memperjelas mekanisme proses
seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Terakhir, perbaikan sistem pengawasan
hakim konstitusi.
Mengulang Sejarah
Bercermin pada
sejarah, hal ini pernah terjadi pada kedua presiden kita sebelumnya, B.J.
Habibie dan Alm. K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Namun keduanya berakhir
sama, Perpu-perpu yang berbuah penentangan pelbagai pihak dan akhirnya penolakan
oleh DPR.
Era reformasi, setelah melontarkan gagasan untuk
menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan, pemerintahan (sementara)
Habibie selanjutnya mengeluarkan Perpu No.
2/1998 tentang “Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum” pada 24 Juli
1998. Bertolak belakang dengan judul Perpu, isinya justru menekan kebebasan
mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berekspresi di ruang publik.
Kenaikan Habibie selaku penerus mandat
kepresidenan yang dicopot dari Soeharto pada Mei 1998, dipandang skeptis oleh
rakyat. Minimnya kepercayaan terhadap Habibie mengakibatkan demo berkepanjangan
yang berlangsung ricuh pada masanya. Oleh karena hal itulah, Habibie terdesak
untuk mengatur kericuhan yang semakin menjadi itu dengan mengajukan Perpu No. 2
Tahun 1998. Namun Perpu itu ditarik dari pembahasan DPR karena isinya yang
tidak menyelesaikan konflik, serta bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28.
8 Oktober 1999, 3 hari menjelang pidato
pertanggungjawaban Habibie di MPR, dikeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1999 mengenai
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Lagi-lagi, Perpu ini juga ditolak oleh
seluruh fraksi DPR. Kesepuluh fraksi DPR pada masa itu lebih menyarankan
pemerintah segera membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan HAM serta
pembentukan lembaga amnesia.
Fraksi Partai Golkar mengusulkan
pembentukan lembaga amnesia, yaitu lembaga yang memberikan pengampunan bagi
pelaku pelanggaran HAM. Sedangkan LT Susanto dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan
Indonesia (F-KKI) mengingatkan pentingnya RUU Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi.
Menurut keterangan Juru Bicara Fraksi
Reformasi (pada masa itu) Raja Rusli, kelahiran Perpu No. 1/1999 memiliki
nuansa politik, yakni pemerintahan Habibie berusaha merespon tekanan
internasional terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Habibie saat itu ingin
pelanggaran HAM di Timor Timur tak menjadi persoalan internasional, tetapi
dapat dilokalisir menjadi persoalan nasional.
Era Almarhum Gus Dur, skandal buruk
lembaga peradilan negara kita juga pernah menimpa Mahkamah Agung (MA). Abdul
Hakim Garuda Nusantara, pengacara sekaligus seorang pejuang HAM Indonesia
menuturkan, untuk memulihkan nama baik MA, Gus Dur bisa saja mengeluarkan Perpu
yang isinya
mempensiunkan seluruh hakim agung dan mengangkat sejumlah hakim agung
non-karier, serta menetapkan uang pensiun yang harus diterimanya.
Langkah radikal itu bisa ditempuh Gus
Dur jika pemerintah ingin segera bisa memperbaiki lembaga MA. Demikian
dikatakan Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam diskusi "Mencari Format Ideal
Kedudukan dan Fungsi Lembaga Kekuasaan Kehakiman" yang diadakan Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional di Jakarta pada Kamis, 30 Maret 2000.
Saat itu, MA terganjal skandal vonis
palsu yang dikenal sebagai Tragedi Nyai Marwanih. Nyai Marwanih dipaksa bolak-balik MA hingga
lebih dari 10 tahun. Berkali-kali ia memenangi pengadilan, namun keanehan mulai
terjadi saat eksekusi berjalan. MA mengintrodusir Peninjauan Kembali (PK) tahap
kedua yang mengganjal eksekusi pengembalian hak tanah Marwanih yang seharusnya
sudah ia menangkan selama pengadilan MA bertahun-tahun itu. Padahal PK kedua
itu tidak pernah ada.
Menghadapi
skandal tersebut, Gus Dur bergeming. Ia tetap membiarkan hukum memproses kasus
tersebut dan menghindari konfrontasi dengan DPR jika ia benar-benar mengeluarkan Perpu tersebut
seperti yang disarankan.
Sayangnya,
pemerintahan Gus Dur berakhir tragis. Keputusan-keputusannya yang selalu
bertentangan dengan jajaran pemerintahannya dan dianggap inkonstitusional
mengakibatkan dirinya ditendang keluar istana oleh parlemen, MPR yang
melantiknya menjadi presiden.
Impeachment
Berdasarkan
fakta sejarah di atas, rasanya patut jika kita mencurigai gelagat presiden
mengeluarkan Perpu. Mungkin ini hanya sekadar sensasi untuk menutupi skandal
hukum yang lebih besar, bail out Bank
Century misalnya. Sehingga pemberitaan media boleh teralihkan seputar kasus MK
yang kemudian juga melambungkan wacana dinasti politik.
Perpu MK
dimaksudkan SBY sebagai upaya segera penyelematan reputasi lembaga peradilan
tertinggi Republik Indonesia, upaya pengembalian kepercayaan publik terhadap
Mahkamah Konstitusi yang tercoreng oknum hakim korup. Ibarat kata pepatah,
“sebab nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Ironis,
upaya penyelamatan atau upaya apapun yang dimaksudkan SBY justru kini berbalik
menjadi senjata ampuh yang dapat memakzulkan takhta kepresidenannya. Mendekati
tahun politis, yakni pemilu 2014, pelbagai fraksi sudah menyatakan terbuka
terhadap wacana impeachment (penjatuhan kekuasaan) presiden.
Ditambah,
hasil-hasil survei yang kian mengindikatori penurunan popularitas presiden.
Hasil survei Pol Tracking Institute
Hanta Yudha misalnya, menunjukkan perolehan 51,5% responden tidak puas dengan
kinerja pemerintahan SBY-Boediono. Dengan rincian, 41,5% merasa kurang puas dan
10% sangat tidak puas.
Menguji Diri
Pada
penghujung tampuk kepemimpinannya yang digunjingkan gagal ini, Presiden SBY
tengah mencobai dirinya. Menguji apakah ketokohannya masih berpengaruh dan
mampu mendongkrak elektabilitas partainya mendekati pemilu 2014. Berdasarkan
survei LSI pada 12 September dan 5 Oktober 2013 menggunakan metode sampling multistage random sampling
dengan responden 1.200 orang dan menggunakan tatap muka langsung, tingkat
elektabilitas Demokrat merosot menjadi 9,8%. Yang pada Maret 2013 memperoleh sebesar 11, 7%.
Seperti
kata pepatah, “sebodoh-bodohnya keledai,
ia tidak akan jatuh dua kali di lubang yang sama.”
Bahan Pustaka:
Alvin, Silvanus. [2013, 20
Oktober]. Survei: 51,5% Publik
Tak Puas Kerja 4 Tahun SBY-Boediono. Liputan6 [online]. Tersedia : http://news.liputan6.com/read/724725/survei-515-publik-tak-puas-kerja-4-tahun-sby-boediono. [Akses 20 Oktober 2013].
Kurniawan,
Andy. [2012, Maret]. Pertemuan 4: Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
PDF Online. Tersedia : http:// andykurniawan.lecture.ub.ac.id/ files/2012/03/ Jenis-Hierarki-Peraturan-Perundangan.pdf.
[Akses 20 Oktober 2013].
Mahaputra, Sandy Adam; Dwifantya Aquina.
[2013, 19 Oktober]. Presiden SBY Gelar Pertemuan dengan Hakim Konstitusi. Tersedia:
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/452420-presiden-sby-gelar-pertemuan-dengan-hakim-konstitusi.
[Akses 20 Oktober 2013].
Solihin,
Muhamad. [2013, 18 Oktober]. Yusril : Momentum Perpu MK Sudah
Terlambat. USUM [online]. Tersedia: http://usum.co/news/read/2013/10/18/yusril-momentum-perpu-mk-sudah-terlambat/. [Akses
20 Oktober 2013].
Perpu Pengawasan MK Bisa Jadi Alat
Menurunkan SBY. JPNN [online]. Tersedia: http://www.jpnn.com/read/2013/10/07/194658/Perpu-Pengawasan-MK-Bisa-Jadi-Alat-Menurunkan-SBY-. [Akses
20 Oktober 2013].
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/28/0030.html. [Akses
20 Oktober 2013].
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/30/0048.html. [Akses
20 Oktober 2013].
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/13/0107.html. [Akses
20 Oktober 2013].
http://www.minihub.org/siarlist/msg00408.html. [Akses
20 Oktober 2013].