"Kalau anda ingin
melihat bagaimana Islam, demokrasi, modernitas, dan hak-hak perempuan berjalan
seiring, datanglah ke Indonesia," puji mantan Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat, Hillary Clinton di sela kunjungannya ke Indonesia (New
York Times, 2009).
Kualitas demokrasi NKRI
kian merosot. Hal ini diumumkan dalam laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang
diselenggarakan Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan bekerja sama dengan Badan Pusat
Statistik (BPS), Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas serta didukung badan PBB
untuk pembangunan (UNDP), di Jakarta pada Rabu, 11 Desember 2013 lalu.
|
Ilustrasi: id.zulkarnainazis.com |
Ironis, ketika presiden kita menerima penghargaan World
Statesman Award dari luar negeri, tepatnya oleh Appeal of Conscience Foundation
(ACF), Amerika Serikat atas keberhasilannya membangun Indonesia yang toleran
dan demokratis, indeks penilaian nasional malah membuktikan sebaliknya. IDI
2012 memperoleh poin 62.63 poin atau mengalami penurunan 2,85 poin dibanding
tahun sebelumnya, 65,48 poin.
Demokrasi
Sejak Awal
Negara Demokrasi pada
sejatinya, ialah negara yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan yang ada
hanyalah alat negara yang bertujuan melayani rakyat dalam segala kepentingan.
Demikianlah sejatinya lembaga negara selaku alat negara dalam mencapai
kesejahteraan rakyat ini naik, duduk menjadi perwakilan rakyat yang
memperjuangkan hak kebebasan dan kesetaraan rakyat. Mandat diberikan kepada
mereka untuk dijalankan bukan dirampas dan diterbengkalaikan.
Beranjak dari
Nusantara, kepulauan yang terletak antara Benua Asia dan Australia ini kini
menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Era kerajaan berubah wujud
menjadi demokrasi setelah era penjajahan (1512-1945).
Sejak mulanya, NKRI
ialah negara demokrasi. Presiden pertama RI Ir. Soekarno melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Layaknya Monarki non-raja
dalam siklus pemerintahan versi Polybius, NKRI dipimpin oleh satu penguasa
yaitu Soekarno yang mana segala aspek pemerintahan bersifat terpusat.
Mengatasnamakan stabilitas politik dan ekonomi, Soekarno bahkan mengangkat
dirinya menjadi presiden seumur hidup.
Tahun 1965, Orde Lama
dilengserkan Orde Baru di bawah pimpinan Mayjen Soeharto. Kali ini, Demokrasi
Pancasila dikumandangkan. Faktanya, NKRI memasuki siklus Polybius kedua, yakni
tirani. Atas nama pembangunan, Soeharto memerintah NKRI dengan tangan besi.
Pemerintahan tidak hanya sentralis, melainkan sewenang-wenang dan otoriter.
Pembungkaman hak berpendapat dan pelanggaran HAM menjadi hal yang lumrah
dijalankan antek-antek OrBa.
Keterpurukan NKRI
selama 32 tahun kepemimpinan Orba akhirnya digulingkan rakyat, yakni para
mahasiswa. Dan NKRI pun memasuki Era Reformasi. Di bawah pemerintahan Presiden
BJ. Habibie yang sebentar, atas nama revolusi, Reformasi seumur jagung itu
segera bertumbuh jadi demokrasi.
Tahun 1999, pemilu
legislatif dimenangkan PDI-P. Abdurrahman Wahid dari PKB dilantik menjadi
presiden RI ke-4 oleh MPR. NKRI pun memasuki Era Demokrasi yang sesungguhnya.
Hingga berlanjut pada pemilu presiden pertama di Indonesia tahun 2004 dimenangi
Partai Demokrat, yakni Susilo Bambang Yudhoyono.
Tidak salah jika
Presiden SBY dinobatkan sebagai Bapak Demokrasi Nasional. Sebab, dibanding Era
Orba, kini rakyat jauh lebih bebas mengemukakan pendapatnya hingga ke jejaring
sosial. Benar pula jika SBY digolongkan sebagai Bapak Demokrasi karena beliau
adalah presiden RI pertama yang dipilih melalui pemilu dan terpilih sampai 2
periode berturut-turut. Sayangnya, atas nama demokrasi, kepemimpinan dijalankan
secara retorika belaka. Demokrasi yang diterapkan hanya umbar pada kebebasan
semata. Kebebasan ada diperuntukkan golongan tertentu. Sementara kesejahteraan
rakyat masih terabaikan. Sayangnya, seperti kata Plato, demokrasi hanya untuk
kaum elit.
Kesimpulan
Begitu cepat Indonesia
menjadi negara berbasis demokrasi. Sejak mulanya bahkan adalah demokrasi. Bandingkan
dengan negara-negara Timur Tengah yang baru-baru ini mencapai demokrasi. Sudah
begitu lama Indonesia berdemokrasi tanpa peningkatan yang substansial.
Bandingkan dengan Botswana, negara demokrasi yang lebih muda dari NKRI,
pendapatan per kapitanya $17,596 berbanding jauh dengan Indonesia yang
pendapatan per kapitanya $5,182.
Begitu cepat negara ini
mengalami loncatan dinamika politik dan bentuk pemerintahan. Tanpa disadari
bangsa ini begitu rapuh hingga ke akar-akarnya, Gempuran ideologi menghujam
bangsa ini sedemikian rupa sebelum sempat terbentuk jati diri bangsa yang kokoh.
Umur NKRI baru 68 tahun. Namun ramalan-ramalan kehancuran sudah menghantui
NKRI.
Menelaah ramalan
Polybius, ketika suatu pemerintahan telah mencapai demokrasi, selanjutnya ialah
Oklorasi. Ketika rakyat ingin memerintah dengan menggulingkan pemerintahan yang
korup, pada saat itulah akhir suatu negara ditentukan. Apakah negara itu akan
hancur ataukah muncul seorang pemimpin baru yang mampu mengambil alih kekuasaan
dan menegakkan kembali Monarki?
Kasus Korupsi di
Indonesia terlalu mendarah daging, mengakar budaya. Kedaulatan rakyat kian
tergerus. Sadarkah kita bahwa bangsa dan negara ini tengah mengalami penuaan
dini demokrasi? Negara ini belum siap akan segala sesuatu, namun tuntutan jaman
memaksa bangsa ini melaju. Sampai kapan kita berdiam dalam ketidaksigapan?
Kehancuran di depan mata, Bung!
“Revolusi belum
selesai!” seru Bung Karno.