Akhir-akhir ini orang sibuk memusingkan urusan kolom
agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menag Lukman Hakim
menyatakan sepakat membolehkan kolom agama dikosongkan. Bagi WNI yang menganut
keyakinan di luar 6 agama yang diakui di Indonesia katanya boleh dikosongkan
pada kolom KTP tetapi tetap didata oleh database
pemda. Bagaimana kebijakan pastinya, hingga kini belum diratifikasi secara
resmi.
Pro dan kontra soal agama terus bergulir. Pasalnya,
negara ini bukan negara sekuler seperti Prancis misalnya yang memisahkan urusan
pemerintahan dan agama. Kalau ditanya apakah negara ini negara agamis?
Hmmph…jelas bukan. Negara ini katanya negara pancasila. Apa pula itu artinya?
Telaah
Pancasila
Sila pertama menyatakan, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apakah negara kita lantas menjadi negara ketuhanan? Bagaimana dengan mereka
yang merasa dan menyatakan diri tidak bertuhan? Sila kedua berkata, kemanusiaan
yang adil dan beradab. Manusia mana yang dibahas? Seluruh lapisan masyarakat
atau pemerintah atau keduanya? Adil juga adil yang bagaimana? Apa ukurannya?
Soal agama bagaimana ukuran adil dan beradabnya? Katanya agama itu identitas
seseorang. Seseorang yang pasti manusia kan? Jadi dimana letak keadilan yang
dimaksud bagi warga negara yang merasa diri tidak bertuhan dan memiliki agama
atau kepercayaan di luar 6 agama yang diakui negara ini?
Sila ketiga, persatuan Indonesia. Sangat mulia sila
ketiga ini. Dasar negara yang berisi harapan mulia, kesatuan di atas
kemajemukan bangsa ini. Ditegaskan juga dalam TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang
Ekaprasetia Pancakarsa atau butir pengamalan pancasila bahwa persatuan
Indonesia berarti menempatkan kesatuan dan persatuan bangsa di atas kepentingan
pribadi dan golongan. Pertanyaannya, apa moda yang mempersatukan bangsa ini?
Haruskah monotheisme yang jadi moda pemersatu bangsa ini? Lalu kalau begitu
mengapa dulu sila pertama dalam Piagam Jakarta diubah? Sekali lagi saya
mempertanyakan, negara Pancasila kah kita atau negara agamis?
Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Rakyat itu butuh kebijaksanaan
Anda-Anda semua, para wakil rakyat, pemerintah yang terhormat. Jadi tolonglah,
bijak-bijak memutuskan sesuai aspirasi rakyat. Bermusyawarah selayaknya, yakni
dengan akal sehat dan hati nurani. Jangan menyatakan “masyarakat sudah cerdas”
sebagai jargon belaka. Mewakili tidak hanya kaum kapitalis, pun bertindak bagi
masyarakat minoritas.
Sila terakhir, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Lagi-lagi pancasila menegaskan perihal keadilan. Sedemikian
pentingkah makna keadilan sehingga dimuat dalam 2 sila sekaligus? Dan keadilan
di sini, tidak hanya soal individu. Tetapi lebih dari itu, keadilan sosial,
yakni keadilan bagi masyarakat. Keadilan bagi orang banyak, bagi seluruh rakyat
Indonesia, bukan untuk kepentingan golongan apalagi individu. Jadi ingat kata
Pram, “adil lah sejak dalam pikiran.” Sudahkah hukum negara ini merealisasikan
nilai-nilai luhur Pancasila? Akankah kebijakan pengosongan kolom agama itu
adil, bijaksana dan mewakili kepentingan seluruh rakyat Indonesia?
Pernikahan
Beda Agama
Bagaimanapun, kebijakan pemerintah untuk membolehkan
pengosongan kolom agama rasanya cukup menjadi angin segar bagi penganut agama
minoritas. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu. Amboi, urusan agama
akhirnya tidak lagi jadi soal. Lalu apakah otomatis administrasi lainnya juga
ikut beres? Pertanyaan terbesar adalah, apakah dengan dibolehkannya kolom agama
di KTP kemudian menjadikan pernikahan beda agama legal?
Masih segar rasanya diingatan, tentang adanya alumni Fakultas
Hukum Universitas Indonesia yang melayangkan uji materi UU Perkawinan ke Mahkamah
Konstitusi. Seorang mahasiswi dan 3 alumni itu meminta MK melegalkan pernikahan
beda agama. Sebab musabab, UU tersebut dianggap menyalahi UU Kebebasan
Berkeyakinan dan sila kesatu Pancasila Ketuhanan yang maha Esa. Selain itu,
keempat mahasiswa FH itu juga menyangsikan diksi UU Perkawinan pasal 2 ayat (1)
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Penggunaan kata
ganti orang ketiga “-nya” diklaim berpotensi multitafsir. Mereka meminta agar
kata ganti orang ketiga tersebut direvisi menjadi “agama dan keyakinan
mempelai.” Harapannya, revisi tersebut menutup jalur intervensi pihak ketiga.
Dalam taraf kehidupan sosial pun seringkali
menyulitkan. Pertama-tama sudah pasti soal pencatatan sipil. Kedua, tentang pengesahan
pernikahan. Bagi pasangan yang mampu, mereka bisa dengan mudah melenggang ke
luar negeri. Sebut saja Australia untuk mengesahkan janji suci mereka. Namun
bagaimana dengan pasangan yang tidak semampu itu untuk terbang ke negara asing?
Apakah mereka pantas dibiarkan saja kumpul kebo atau mengorbankan salah satu
keyakinan dan menjadi hipokrit?
Hubungan rumah tangga yang seharusnya didasari rasa
cinta kasih dengan demikian terpaksa diselimuti kemunafikan akibat batasan
hukum. Hukum yang seharusnya dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya.
Bicara soal agama memang isu yang sangat sensitif.
Namun, perlu saya tegaskan bahwa bicara soal pernikahan adalah isu yang bagi
agama manapun pasti sakral. Ditentukan oleh Tuhan bukan manusia. Kedua,
pernikahan adalah ranah privat, pribadi antar pribadi. Mengapa pula negara
perlu mencampuri urusan kamar orang? Ketiga, walaupun bukan negara sekuler,
para pemangku kebijakan sepatutnya mengingat bahwa ada enam agama yang diakui
di Indonesia. Jangan hanya berpatokan pada satu ajaran agama saja. Keempat,
kita perlu berpikir rasional. Kalau bicara soal hukum, maka kita bicara soal
peran negara, kewajiban negara dan hak rakyat. Dengan demikian, perlu rasanya
kita renungkan kembali dasar falsafah negara kita yang sedemikian luhur
dirumuskan dan kembali kepada bertindak logis sesuai konstitusi yang berlaku.