Labels

Wednesday, September 24, 2014

Dipendam Saja

Kamu itu cuma bisa bilang "aku ngerti" tapi eksekusinya nol.
Aku salah, tapi kamu membeberkannya di saat yang tidak tepat.
Kalau kamu memang sedemikian tidak suka dan benci, mengapa masih kita teruskan?

Aku mencoba membuang keegoisanku,
mencoba mengerti kamu. Tapi ternyata susah ya?

Kamu sudah berusaha mengerti aku,
tapi kamu masih saja berkelut dalam kabut ketidakpahaman.

Aku diam, membisu dan terpaku,
karena aku terlahir kelu.
Tapi kau mana mau tahu.

Sebenarnya aku paham kau butuh waktu
Tapi hati ini tak tenang,
dirundung rasa bersalah melulu
kala bermain di belakang.

Gila ya!
Bikin orang nangis
lantas karna ia kelu
sudah saja begitu

Kau tak perlu tahu!

Monday, September 1, 2014

Media Cetak Sebagai Sarana Komunikasi

Pada mulanya, manusia berkomunikasi secara oral, atau dari mulut ke mulut. Tidak diketahui secara pasti kapan dan bagaimana tepatnya manusia mulai berkomunikasi. Hasil riset komunikasi menunjukkan bahwa pengenalan manusia akan bahasa telah dimulai sejak 35.000 tahun SM. Yakni pada jaman Cro-Magnon, sebutan untuk homo sapiens yang dikenal sebagai manusia modern pertama di Eropa pada era paleolitikum. Namun bahasa yang digunakan pada masa itu masih terlalu sederhana dan belum memiliki spesifikasi bahasa yang jelas dan universal. Ahli pra sejarah kemudian menemukan lukisan-lukisan di dinding gua yang diperkirakan berumur 22.000 tahun SM.
 
Peradaban cara komunikasi manusia
Manusia pra sejarah atau jaman purba belum mengenal tulisan. Mereka berkomunikasi dengan bahasa visual, misal dengan simbol-simbol. Di Yunani, nyala api obor digunakan sebagai alat komunikasi jarak jauh. Asap sebagai simbol juga dikenal dalam Perjanjian Lama. Tentang kakak-beradik, Kain dan Habel. Kain menjadi petani dan Habel menjadi gembala kambing domba. Suatu waktu, keduanya mempersembahkan korban kepada Yahwe dan dari korban bakaran itu keluar asap. Asap dari korban Kain tegak lurus menghadap ke langit. Sedangkan asap korban persembahan Habel berputar-putar, mengepul di atas permukaan tanah, dan tidak sampai ke langit. Asap yang tegak lurus menghadap ke langit, berarti diterima Yahwe. Bukankah Yahwe bersemayam di atas? Dan atas adalah simbol kuasa? Sementara asap korban Habel tidak sampai ke atas dan tidak berkenan bagi Yahwe.[1]


Dari bahasa visual, manusia kemudian bergerak ke bahasa audio, bahasa bunyi-bunyian. Contohnya di Indonesia, masih ditemukan kentongan di pos-pos ronda yang setiap ketukan memiliki arti tertentu. Komunikasi tulisan kemudian dimulai dengan piktograf, bahasa tulis melalui gambar. Orang Mesir penghuni Sungai Efrat membuat simbol tulisan serupa dengan media daun-daun papirus yang permukaannya diukir huruf-huruf hieroglyph. Hieroglyph kemudian berkembang menjadi ideograf, yakni lambang bermakna tertentu, seperti huruf kanji yang digunakan bangsa Tiongkok dan Jepang.

Sebelum ditemukan kertas oleh Tsai Lun dari RRT, manusia menggunakan media tulisan berupa kulit domba atau kulit kambing (vellum) di Romawi, daun lontar di India dan Indonesia. Selain daun lontar, pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, masyarakat mengenal media pendokumentasian tulisan berupa batu prasasti dan yupa.

Formula pergeseran era komunikasi
Perkembangan dunia literatur kemudian bergeser dari lisan ke tulisan. Era tulisan dikembangkan pada 4000 tahun SM. Dimulai ketika Bangsa Sumeri mulai mengenal kemampuan menulis dalam lembaran tanah Nat. Era inilah yang kemudian diakui Everett M.Rogers sebagai awal mula sejarah perkembangan komunikasi manusia.

Everett M.Rogers menggolongkan perkembangan komunikasi manusia ke dalam 4 era komunikasi, yaitu era komunikasi tulisan, era komunikasi cetak, era telekomunikasi dan era komunikasi interaktif. Era komunikasi cetakan dimulai sejak penemuan mesin cetak hand-press oleh Gutenberg pada tahun 1456. Era telekomunikasi diawali dengan ditemukannya alat telegraf oleh Samuel Morse pada tahun 1844. Era keempat, era komunikasi interaktif, mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19. Pada saat itu, tepatnya tahun 1946, ditemukannya Mainframe Computer ENIAC dengan 18.000 vacuum tubes oleh para ahli dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat.[2]

Bicara soal perkembangan peradaban tulis-cetak, Tom McArthur dalam salah satu karyanya The Oxford Companion to the English Language mengkaji sejarah pergeseran komunikatif (Communicative shift) menjadi 4 tahap: pidato (speech), tulisan (script), cetak (print) dan media lain (other media).

Tahap pertama communicative shifts terjadi sekitar 50-100.000 tahun yang lalu. Dimana manusia pada masa itu belum mengenal tulisan, mesin cetak apalagi teknologi hybrid secanggih sekarang. Manusia berkomunikasi secara oral dan belum memiliki media yang dapat mengarsipkan komunikasi mereka sebagai pengetahuan. Sehingga untuk itu, manusia pada jaman itu memerlukan memori atau daya ingat yang tinggi (storage speech). Dalam penyampaian pesannya, pada tahap ini komunikasi manusia didukung pula dengan gerakan tangan dan tubuh, atau kita kenal sebagai komunikasi non-verbal. Oleh karena itulah, McArthur menyatakan bahwa storage speech itu bergaya (stylised), perlu berlatih (rehearsed), memiliki rumusan (formulaic) dan berulang-ulang (repetitive), contohnya puisi.

Tahap kedua ialah tulisan dan budaya penulisan. Ditemukannya teknologi menulis, yakni sistem alfabet semakin memperkuat kemampuan manusia dalam membahas mengenai menulis dan membaca. Penanda penting perubahan komunikatif pada tahap budaya penulisan ini ialah dimulainya pergeseran dunia lisan (orature) menuju dunia tulisan (literature). Pengetahuan manusia pada tahap ini mulai dapat didokumentasikan.

Tahap ketiga, akhirnya manusia memasuki era percetakan. Tahun 1450, Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pertama. Dari tangan Gutenberg lahir Septuaginta, kitab Latin pertama yang dikenal sebagai “Injil Gutenberg” dan “Kitab 42 Baris”. Jaman ini dianggap sebagai jaman keemasan dunia literatur karena banyak karya pemikiran manusia yang bisa didokumentasikan kemudian dicetak, diterbitkan dan dapat disebarluaskan. Pada tahap ini juga dicetak kamus-kamus guna menentukan standardisasi penggunaan bahasa. Dan Bahasa Inggris menjadi bahasa yang paling popular hingga disebut sebagai bahasa internasional.

Tahap keempat, teknologi komunikasi mengalami perkembangan yang sangat pesat dan massif. Media cetak mulai ditinggalkan. Teknologi computer menjadi pusat media komunikasi manusia, di mana batas ruang dan waktu tidak lagi jadi persoalan atau hambatan. Manusia terhubung dan memiliki kesempatan berkomunikasi seluas-luasnya secara global. Media cetak bertahan hidup dengan berkonvergensi ke dalam revolusi teknologi komunikasi auditory (telepon, telekomunikasi, radio dan rekaman suara), visual (fotografi, sinematografi, televisi, fotokopi, rekaman video dan komputer tradisional), dan hybrid yang meliputi sinematografi dengan suara, tv dengan suara, video kaset, komputer, dan teknologi laser. Memasuki abad ke-19, terjadilah revolusi dibidang media dan letupan informasi yang sangat dahsyat (information explosion), sehingga mendorong terjadinya perbedaan tegas antara media, multimedia dan hypermedia.

Daftar Pustaka

[1]Dikutip dari: Petrodes, Petros. 2013, Februari. Makna Asap dan Kapel Sistina [online]. Tersedia di: http://petros-petrodes.blogspot.com/2013/02/makna-asap-dan-kapel-sistina.html. [Akses: 01 September 2014]

[2]Dikutip dari: Khusnia. 04. Sejarah Komunikasi dan Ilmu Komunikasi [online]. Tersedia di: http://khusnia.wordpress.com/pengantar-ilmu-komunikasi/04-sejarah-komunikasi-dan-ilmu-komunikasi/. [Akses: 01 September 2014]

TESS. 2010. [Journal of the Simplified Spelling Society, 7, 1988/1 pp5-8] Form and Reform: The Four Great Communicative Shifts [online]. Tersedia di: http://www.spellingsociety.org/journals/j7/shifts.php. [Akses: 01 September 2014]

Putra, R. Masri Sareb. 2007. Media Cetak. Bagaimana Merancang dan Memroduksi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
 

Monday, August 25, 2014

R.A. Kartini dalam Moon Embraces The Sun

Hubungan kakak beradik pada masa pra-emansipasi dalam film kolosal drama korea "The Moon that Embraces The Sun" ternyata ada dalam fakta sejarah tokoh perempuan di Indonesia. 

Heo Yoem sedang berdiskusi dengan adik perempuannya Yoen Woo
Siapa yang tak tahu drama kolosal Korea Selatan yang diperankan aktor tampan Kim So Hyun dan aktris cantik Han Ga In ini? Drama ini diproduksi tahun 2012 lalu. Mengisahkan tentang lika-liku cinta antara Raja Lee Hwon dan seorang Shaman bernama Wol. Di negara asalnya, drama ini berhasil menyedot perhatian pemirsanya dengan perolehan tertinggi hingga 42,2%, tercatat mencapai puncak rating ini pada episode terakhir.

Lupakan soal kisah percintaan dalam drama ini. Sebab bukan itu yang hendak saya bahas. Lakon menarik juga diperlihatkan dalam hubungan persaudaraan yang mesra antara Wol, Shaman yang ternyata adalah putri mahkota yang dikira sudah meninggal, dan kakak lelakinya Heo Yeom. Keduanya lahir dari keluarga yang harmonis dan terpelajar. Heo Yoem sendiri dikisahkan sebagai sarjana termuda yang lulus pada usia 17 tahun dan diangkat menjadi guru sastra putra mahkota.

Heo Yoem sangat mengasihi adiknya Yoen Woo. Ia bahkan rela berlutut memohon pada Lee Hwon agar adik perempuannya itu tidak diikutsertakan dalam pemilihan putri mahkota. Karena adiknya hanya akan menjadi calon selir raja seumur hidupnya jika tersisih. Dan otomatis, Yeon Woo tidak akan bisa menikah seumur hidupnya. 

Yoen Woo gemar membaca buku. Pada era joseon, perempuan di Korea sama halnya dengan perempuan lainnya di negara-negara patriarkat, termasuk era kolonial Indonesia, menganut paham perempuan mengurus rumah dan tak perlu bersekolah. Namun Yoen Woo yang terlahir dalam keluarga terpelajar dibiarkan ayah dan kakaknya membaca buku. Hingga Yoen Woo pun tumbuh menjadi gadis yang tak hanya cantik rupawan, juga cerdas. 

Dalam beberapa kesempatan, Heo Yoem terlihat asyik membicarakan soal sastra dan politik dengan adiknya. Yoen Woo lah sumber inspirasi Heo Yoem ketika mengalami masalah dalam mengajarkan Lee Hwon yang bandel. 

Dan di Indonesia, hubungan mesra kakak beradik seperti Heo Yoem dan Yoen Woo melekat pada sosok R.A. Kartini dan kakak lelakinya Sosrokartono.

Dalam buku karya Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa diceritakan bagaimana sosok Sosrokartono memegang peranan penting sebagai pemasok bacaan sekaligus tempat bertukar pikiran Kartini.

"Meskipun tidak banyak menulis karya ilmiah, pandangan Sosrokartono tentang kemajuan bangsa amat sejalan dengan Kartini. Dari Sosrokartono-lah Kartini mendapatkan kiriman bacaan buku untuk menyempurnakan penguasaan bahasa Belanda dan menambah ilmu pengetahuan. Menurut keterangan Kartini di dalam suratnya, Sosrokartono senantiasa mendengarkan dengan penuh perhatian tiap kali Kartini menyampaikan gagasannya ... . Sebaliknya, Kartini mendukung pandangan Sosrokartono ... ." (Arbaningsih, 2005: 41)

Doc. Google Image
Selain rajin menuntut ilmu, Kartini juga terampil membatik. Pemikiran-pemikirannya bukan melulu sekadar harkat dan derajat perempuan, lebih dari itu, kebangsaan Jawa. Bangsa Jawa yang apabila diberi kesempatan untuk belajar, maka akan jadi manusia-manusia yang berharkat dan bermartabat. Pendidikan yang berdasarkan nalar dan akhlak dijunjung Kartini guna membangkitkan kebangsaan Jawa.

Sementara Kartini terampil membatik, Yoen Woo pun terampil menyulam. Pemikiran-pemikiran Yoen Woo mengenai kehidupan sosial dan kritik tajamnya terhadap kekaisaran membuahkan kekaguman raja. Putra Mahkota pun berdecak kagum akan kebijakan gadis muda tersebut. 

Yoen Woo pun akhirnya menikah dengan putra mahkota.  Sementara Kartini menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat, duda beranak tujuh. Keduanya beruntung karena memiliki suami yang memahami dan mendukung pandangan kritis mereka.