Disiarkan Langsung dari Studio 6 TVRI
Selasa, 25 Oktober 2011
Pukul 22.00 – 23.00
Dewan
Pers Kita
“Integritas
dan Kejujuran Pengelola Pers dalam menghadapi Persoalan Bangsa”
Pembawa
Acara : Wina Armada Sukardi
Narasumber
- Dr.
Eko Harry Susanto (Dekan Universitas Tarumanagara)
- Budiman
Tanoeredjo (Redaktur Pelaksana Harian Kompas)
- Nurjaman
Mochtar (Pemimpin Redaksi TV Indosiar dan Direktur Pemberitaan)
Dewan
Pers Kita
Melindungi
dan meningkatkan kemerdekaan pers nasional berdasarkan prinsip – prinsip
demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Latar
belakang :
Pers
sebagai lembaga publik, dipercaya sekaligus dikecam masyarakat. Masyarakat
mengecam peranan pers sekarang sudah menyimpang dari fungsinya. Pers dinilai
tidak lagi berpihak pada rakyat melainkan pada kepentingan pengelola pers
sendiri. Di lain pihak, pers merupakan lembaga publik yang lebih dipercaya
masyarakat dibandingkan dengan lembaga – lembaga tinggi negara seperti DPR dan
MPR.
Topik
perbincangan :
- Benarkah
pengelola pers sekarang sudah kehilangan integritas dan kejujurannya?
- Bagaimana
kualitas pemahaman wartawan terhadap kemerdekaan pers?
- Independensi,
konglomerasi, juraganisme dan monopoli dalam pemberitaan
- Hubungan
masyarakat dengan pengelola pers
- Peranan
masyarakat terhadap kemerdekaan dan keterbukaan pers
- Perbaikan
kinerja mekanisme pengelola pers terkait penayangan dan atau pemuatan suatu
berita atau informasi
- Isu
Konspirasi
Setiap
pengelola pers memiliki kepentingannya masing – masing. Tidak benar jika pers
tidak berpihak karena pers berpihak pada kebenaran. Pertanyaannya, kebenaran
yang mana? Apakah kebenaran bagi redaksi pers atau kebenaran yang berpihak pada
publik?
Nurjaman
menambahkan, “Tidak tepat jika pers dikatakan bekerja secara netral. Pers
bekerja secara independen.”
Dalam
menyikapi pemberitaan – pemberitaan yang ada di media, masyarakat dinilai sudah
cukup cerdas. Masyarakat dapat melihat dan membandingkan pemberitaan suatu
media dengan media lainnya serta memilah. Apalagi sekarang teknologi berkembang
sangat pesat. Siapa saja dapat mempublikasikan tulisan – tulisannya pada media
internet yang tersedia. Sebut saja Blog,
jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Jadi, kewaspadaan dan skeptisme
terhadap suatu berita memang perlu.
Faktanya,
ada media – media tertentu yang beritanya mengandung maksud dan tujuan tertentu
yang menyimpang. Media tersebut cenderung dikuasai oleh pihak – pihak tertentu,
konglomeratisme dan monopoli. Terasa dari pemberitaannya yang mempropagandakan
elit – elit tertentu.
Mungkinkah
ada sistem juraganisme dalam media tersebut? Dimana para wartawan tidak takut
pada apapun dan siapapun. Akan tetapi, ada satu yang ditakuti yaitu pemimpin
redaksinya.
Tidak
ada tolak ukur yang pasti dalam menilai integritas seseorang. Juraganisme
tentunya merupakan salah satu faktor yang menghambat konsistensi pers dalam
mempertahankan integritasnya.
Nama
baik pers juga tercoreng akibat beroperasinya wartawan – wartawan ‘bodrex’,
yaitu pers yang tidak memiliki media. Oknum – oknum yang bermasalah merupakan
mangsa utama mereka. Dari informasi – informasi negatif, mereka mengambil
keuntungan. Biasanya diikiuti pula dengan pemerasan terhadap oknum tersebut
sebagai ganti tutup mulut.
Terkait
isu konspirasi, Budiman mengatakan, “ Tidak benar jika dikatakan suatu berita
dengan sengaja ditutupi oleh berita lainnya. Sebaliknya, pers mampu memilih
waktu yang tepat untuk memunculkan kembali suatu berita.”
Kembali
lagi kepada kineja para wartawan sendiri. Apakah wartawan sudah melakukan
verifikasi terlebih dahulu terhadap setiap informasi yang mereka peroleh
sebelum dipublikasikan?
Akhir
– akhir ini, wartawan muda dinilai berkualitas rendah. Mereka sekadar menerima
setiap informasi begitu saja, menelan bulat – bulat pernyataan seorang menteri
misalnya, tanpa melakukan observasi lebih mendalam sehubungan dengan pernyataan
menteri tersebut. Hal inilah yang sering kali menyebabkan pemberitaan pers
cenderung menyimpang.
Hal
tersebut mungkin merupakan ketidaksengajaan atau kecerobohan pers. Sementara,
tindakan wartawan ‘bodrex’ memang merupakan kesengajaan. Oleh karena itu,
wartawan juga harus mawas diri. Pengelola pers pun patut menilik kembali
mekanisme pemberitaan medianya. Apakah sudah berjalan sebagaimana mustinya? Hal
ini penting agar pers tidak lagi disalahpahami oleh masyarakat.
Indonesia
sesungguhnya merupakan bangsa yang besar. Berbagai permasalahan bangsa telah
kita lalui. Mulai dari rezim diktator Soeharto pada masa Orde Baru, dimana
kebebasan pers benar – benar terbungkam. Kemudian masuk kepada Era Reformasi
pimpinan Habibie yang mengembalikan kemerdekaan pers. Hingga sampai pada pemerintahan
demokratis di bawah pimpinan SBY.
Sebagai
negara demokratis, kebebasan pers semakin nyata. Diatur dalam undang – undang
pasal 28F, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Namun
ternyata, ada kelompok – kelompok masyarakat yang masih alergi terhadap
keterbukaan pers. Seperti yang dikatakan Eko, “ Konflik – konflik antara
masyarakat dan media bukan hal yang aneh.” Sebagaimana pun media berusaha
berimbang dan transparan, faktanya masih banyak masyarakat yang tidak setuju
kemudian melakukan upaya sendiri dengan cara – cara yang tidak benar
menurutnya.
Di
sinilah letak tantangan bagi para pengelola pers dalam menghadapi persoalan
bangsa. Sebagai pilar keempat demokrasi, integritas dan kejujuran wartawan
diuji. Lembaga – lembaga akademik pun turut tertantang untuk menetaskan penerus
– penerus bangsa yang berkualitas dan berkepribadian.