Penghargaan
Semu untuk Para Pahlawan
Kebanyakan orang akan mengatakan bahwa orang – orang hebat dan
berjasa, mereka yang telah berjuang tumpah darah untuk seseorang atau bangsa
dan negara adalah orang – orang yang pantas disebut pahlawan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan didefinisikan
sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela
kebenaran; pejuang yang gagah berani. Kepahlawanan merupakan perihal sifat
pahlawan seperti keberaniaan, keperkasaan, kerelaan berkorban dan kekesatriaan.
Perlukah sosok pahlawan dalam dunia ini? Melihat keadaan dunia
yang semakin hari semakin kacau akibat kerusakan moral manusia, rasanya pahlawan
sebagai sosok panutan masih sangat diperlukan kehadirannya. Bahkan mungkin
dinantikan. Katakanlah seorang superman misalnya, diharapkan dapat memecahkan
masalah – masalah yang tak terpecahkan dan yang ditimbulkan tidak lain dan
tidak bukan oleh manusia sendiri.
Pada hakikatnya, ketika seseorang menyandang gelar sebagai
pahlawan, mereka diperlakukan secara khusus. Orang – orang memandang mereka
dengan berbeda, ada rasa kagum atau mungkin juga iri. Layaknya seorang artis
ternama, segala tindakan mereka menjadi sorotan publik.
Sudah menjadi sifat dasar manusia, hanya mau menerima yang
baik-baik dan tidak masalah memberikan yang buruk – buruk atau biasa – biasa
saja. Sadarkah kita bahwa para pahlawan juga manusia seperti kita. Mereka juga
memiliki kebutuhan dan kepentingan – kepentingan pribadi?
Siapakah
sosok pahlawan favoritmu?
Para pahlawan selayaknya diberikan penghormatan yang tinggi,
bukan? Di seluruh dunia, di negara mana pun ketika seseorang dinyatakan sebagai
pahlawan, orang tersebut pasti mendapatkan penghormatan yang layak. Sebut saja,
Spiderman, salah satu tokoh heroik
komik marvel terbitan Amerika. Warga kota New York dapat hidup lebih aman
selama ada Spiderman yang menghajar para
pelaku kriminal bagi mereka.
Dalam Spiderman 1,
kita melihat betapa sosok Spidey ini
memang sangat dihormati warga NY. Suatu kali, Spidey kesulitan menolong Mary Jane. Ia dihalang – halangi oleh
musuhnya, Green Goblin. Tiba – tiba
saja, sebuah batu melayang ke arah Goblin.
Warga NY yang lemah dan selalu dibantu Spiderman
ini, dengan segenap keberanian menimpuki Goblin.
Bersama – sama mereka membantu pahlawan mereka.
Kemudian dalam Spiderman 2, adegan di kereta ketika Dr. Octopus hendak menangkap Spidey. Spidey kelelahan setelah berhasil menahan laju kereta yang lepas
kendali akibat ulah Dr. Octopus.
Orang – orang dalam kereta tanpa ragu mengulurkan tangan menahan Spidey tidak terjatuh. Tangan – tangan
yang diselamatkan menggiring pahlawan mereka masuk. Tidak lama kemudian datang Dr. Octopus. Penumpang yang semula
ketakutan, kali ini memasang badan melindungi pahlawan mereka.
Entah siapa yang sesungguhnya pahlawan dari kisah tersebut. Bagi
warga NY, Spidey adalah sosok
pahlawan sejati. Mungkin bagi Spidey,
warga NY yang kadang kala membantu juga layak disebut pahlawan.
Entahlah, namun yang pasti, dari kisah tersebut dapat kita ambil
kesimpulan bahwa pahlawan sejati adalah pahlawan yang dapat memancarkan
kekesatriaannya dan mampu mempengaruhi orang – orang di sekitarnya untuk juga
bertindak heroik. Pahlawan sejati tidak egois.
Pahlawan juga manusia. Ada saat mereka juga butuh pertolongan.
Ketika kita menyalurkan hal – hal positif, dengan sendirinya hal
– hal positif pun kita terima. You reap what you sow.
Sayangnya, fakta menunjukkan pahlawan sekarang ini tidak lagi
memiliki tempat di hati masyarakat. Tidak banyak pemuda yang mengingat Hari
Pahlawan Nasional yang jatuh pada 10 November, apalagi mengetahui sejarahnya
dan lebih sedikit lagi yang paham.
Selasa, 8 November 2011, diselenggarakan upacara penganugerahan
Gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Penganugerahan gelar pahlawan diberikan kepada “Almarhum” Mantan
Gubernur Bank Indonesia Syafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911 – 15
Februari 1989) serta pendiri Partai Katolik IJ Kasimo Hendrowahyono (1900 – 1
Agustus 1986).
Mengapa
baru sekarang?
Aneh bin ajaib, di Indonesia para pahlawan diberi penghormatan
ketika mereka telah tutup usia. Mendadak pemerintah kita teringat pada jasa –
jasa mereka dan menyadarinya ketika mereka sudah tidak ada untuk menuai benih
positif yang mereka tanam.
Mengapa penghargaan tersebut baru diberikan setelah para
pahlawan tersebut meninggal? Mengapa harus menilik yang tiada sementara
terpampang bergelimpangan yang ada.
Para TKI, para pahlawan revolusi maupun refomasi yang sudah
banyak berjuang, mempertaruhkan harkat martabat hingga nyawa mereka demi
kemerdekaan bangsa. Baik pada masa kolonialisme maupun yang sekarang sedang dan
masih terus berjuang melawan neokolonialisme bagi bangsa dan negara ini.
Mengapa tidak kita tengok saja mereka. Dibandingkan
penganugerahan gelar, penghargaan berupa pemenuhan kebutuhan hidup yang layak
lebih mereka perlukan. Untuk apa nama yang harum dan termahsyur, ketika rumahmu
segera menjadi tinggal kenangan?
Di Surabaya, ada pak Sunaryo. Beliau adalah mantan pejuang
kemerdekaan. Satu di antara beribu – ribu arek Suroboyo yang mempertahankan
kebebasan dan kemerdekaan kotanya pada 10 November 1945. Sekarang beliau
berprofesi sebagai tukang becak. Seiring perkembangan jaman, becak mulai sepi
penumpang. Pendapatan pak Sunoryo sebagai tukang becak tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari keluarganya. Hingga akhirnya media menyoroti
kehidupan pak Sunaryo. Pemerintah memberi uang bulanan kepada beliau sebesar
Rp. 750. 000, 00. Namun, sejumlah itu masih tidak cukup untuknya memperbaiki
rumah dan kebutuhan lainnya.
Di mana sebenarnya pemerintah demokratis kita yang menjunjung tinggi
HAM? Ketika pahlawan tersebut masih bernapas, mereka terlupakan. Ketika napas
kehidupan terputus sudah, barulah pemerintah kita sembuh dari amnesianya.
TKI disebut – sebut sebagai pahlawan devisa negara. Nyatanya
hanya sekadar sebutan. Apa yang dilakukan pemerintah ketika mereka pulang
dengan lebam jasmani dan rohani? Penanganan yang setengah – setengah.
Masih banyak pahlawan – pahlawan lain di luar sana yang
terabaikan. Pak sunaryo hanya salah satunya. Mungkin, pemerintah kita memang
terlalu miskin. Miskin moral akibat terlalu sering menggemukkan pundi – pundi
pribadi mereka. Wajar saja hanya pencitraan yang dapat diberikan kepada para
pahlawan tersebut.
Wajar pula, sekarang orang – orang lebih memilih menjadi pejabat
dibandingkan menjadi pahlawan. Lihat saja kehidupan para pejuang kemerdekaan
kita. Berlindung di bawah atap – atap yang bocor, berjubah kedekilan dan
penyakit kulit, berselimutkan polusi, menikmati setiap tetes bakteri dan virus
mematikan.
Bagi mereka, cukuplah rumah sepetak yang dapat menaungi mereka
dari terik siang dan dingin malam yang menusuk, pakaian yang layak pakai,
makanan dan minuman yang layak untuk dikonsumsi, air bersih untuk mandi dan
masak. Ketika bertangki – tangki air masuk ke Istana Presiden, tak setetes pun
air bersih masuk ke dalam kerongkongan mereka atau bahkan sekadar menyentuh
kulit mereka.
Butakah kita terhadap sengsara mereka? Tulikah kita terhadap
raungan derita mereka yang memekakkan? Patungkah kita, sehingga kita hanya ada
tanpa berbuat apa – apa?
Apa arti pahlawan bagimu? Masihkah sosok pahlawan dibutuhkan?
Sadarlah, mereka nyata di sekitar kita. Jangan abaikan!
Selamat Hari Pahlawan. Mortvi
non mordant.
*Artikel ini telah dimuat di Majalah Perdana Oranye Fikom Untar (Edisi 1/2011)
*Artikel ini telah dimuat di Majalah Perdana Oranye Fikom Untar (Edisi 1/2011)
12
November 2011. (Sil)
No comments:
Post a Comment