‘Baik belum tentu benar’, sering sekali kita mendengar kata
ini. Namun benarkah? Benarkah baik itu belum tentu benar?
Contoh sederhananya, ketika seorang teman menanyakan jawaban
kita pada saat ulangan. Jika kita memberikannya, kita telah berbuat baik. Namun
apakah kita secara otomatis berbuat benar? Ya, setidaknya teman tersebut pasti
menganggap kita baik karena telah “membantunya”. Namun apakah perbuatan kita
tersebut – sekali lagi – sudah benar? Sebagian orang bisa saja menjawab sudah,
sedangkan sebagian lagi tidak sepakat.
Lalu sebenarnya apakah dasar tolok ukur yang menjadi patokan
kebenaran yang sesungguhnya? Adakah kebenaran yang mutlak tersebut?
Pertanyaan - pertanyaan macam itu bukan hal baru. Sejak
jaman Yunani kuno, para filsuf – sebut saja Socrates, Plato dan Aristoteles –
telah memikirkannya dan berusaha menemukan jawabannya.
Menurut Socrates
kebenaran didapat dengan banyak bertanya. Terus bertanya hingga tidak ditemukan
lagi jawaban yang bisa membantah
merupakan kebenaran. Bagi Plato, kebenaran yang sejati ada di dunia ide. Lain
lagi dengan Aristoteles, menurutnya kebenaran sejati adalah kebenaran yang
inderawi.
Beberapa abad kemudian, timbul pemikiran – pemikiran baru
tentang kebenaran dan metode pencapainnya. Dua kubu besar terbentuk, kaum
Rasionalis dan Empiris. Mana yang benar, kebenaran yang ada dalam pikiran –
pikiran manusia atau kebenaran yang dilihat secara nyata oleh mata manusia?
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembangnya jaman dan
ilmu pengetahuan, cuma ada satu kebenaran yang nampak jelas, yaitu setiap
metode ilmu pengetahuan manusia hanya mencari pembenaran sendiri seolah
mendekati kebenaran.
Bagaimana menurutmu?
No comments:
Post a Comment