Empirisme
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa
Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa
Yunani έμπειρία (empeiria) dan dari kata experietia yang berarti “berpengalaman
dalam”, “berkenalan dengan”, dan “terampil untuk”. Sementara menurut A.R. Lacey
berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan
kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa
definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh
pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan
abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami. Pengalaman inderawi
adalah satu-satunya sumber pengetahuan, bukan akal.
Aliran ini bermula dari penolakan mereka atas dominasi
logika Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu, gelora Renaissance
di daratan Eropa menginspirasi Dataran Britania Raya sampai ada istilah sendiri
yaitu Enlightment (pencerahan).
Tokoh – tokoh empirisme yang terkenal antara lain,
Francis Bacon (1561–1626), Thomas
Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632–1704), George Berkeley (1685–1753), dan David Hume (1711–1776).
Empirisme adalah suatu aliran dalam metode ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman semata. Ilmu pengetahuan yang
sejati adalah yang inderawi, yang terjadi dan ada secara nyata. Aristoteles
(384-322 SM) adalah filsuf Yunani yang sudah terlebih dahulu menganut metode pengetahuan
ini, jauh sebelum Francis Bacon, yang dikenal sebagai perintis empirisme.
Aristoteles bertolak dari ajaran gurunya, Plato, yang
menganut paham idealis – utopianis. Demikian juga Hobbes, Locke, Berkeley dan
Hume, dalam hal mencetuskan metode berpengetahuan berdasar empirisme, bertentangan
dengan metode rasionalisme, Rene Descartes.
Menurut Bacon, metode yang benar ialah mengamat-amati
alam semesta tanpa prasangka, setelah itu menetapkan fakta-fakta berdasarkan percobaan-percobaan
yang berkali-kali dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Pemikirannya
tersebut kemudian melahirkan metode ilmiah. Bacon juga beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran
maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang
kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode
berpikir induksi.
Bacon telah meletakkan dasar-dasar bahwa ilmu pengetahuan
hanya dapat diusahakan melalui pengamatan, eksperimen-eksperimen dan penyusunan
fakta-fakta. Bacon telah berhasil mempelopori di bidang metode penilitian
sedangkan yang telah berhasil menyusun suatu sistem yang lengkap adalah Thomas
Hobbes.
Ia berpangkal kepada eksperimen secara konsekuen.
Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, ia menerima juga metode yang
dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang
konsekuen pada zaman modern. Materilisme yang dianut Hobbes yaitu bahwa segala
yang ada bersifat bendawi. Bendawi yang dimaksud ialah segala sesuatu yang
tidak tergantung kepada gagasan kita. Segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung
karena keharusan. Seluruh realitas bersifat bendawi, yaitu yang tidak
tergantung kepada gagasan kita terhisap di dalam gerak itu. Dengan demikian
maka pengertian substansi diubah menjadi suatu teori aktualitas. Segala
objektivitas di dalam dunia luar bersandar kepada suatu proses tanpa pendukung
yang berdiri sendiri. Ruang atau keluasan tidak memiliki “ada” sendiri. Ruang
adalah gagasan tentang hal yang berada itu sendiri. Waktu adalah gagasan
tentang gerak.
Empirisme
dalam pandangan John Locke, semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide
berasal dari pengamatan atau refleksi dan sensasi. Lockemenentang
teori rasionalisme yang mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang
sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal
(rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan
pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula akal serupa dengan kertas yang tanpa
tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman.
Satu-satunya sasaran atau objek
pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau idea-idea yang timbulnya kerena
pengalaman lahiriah (sensation) dan karena pengalaman batiniah (reflection).
Pengalaman lahiriah mengajarkan kepada kita tentang hal-hal diluar kita, sedang
pengalaman batiniah mengajarkan tentang keadaan psikis kita sendiri.
Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerjasama antara
sensasi dan refleksi. Dimulai haruslah dari sensasi, sebab jiwa manusia itu
waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih. Barulah kemudian refleksi sebagai
pemenuhnya.
Empirisme selanjutnya datang dari seorang uskup Anglikan
berkebangsaan Irlandia bernama George Berkeley. Dalam risalahnya mengenai
prinsip – prinsip dasar pengetahuan manusia,
Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), manusia
melihat alam merupakan bahasa atau tulisan tangan Tuhan. Menurutnya, empirisme
selanjutnya akan disebut subjektif idealisme.
Kaum empiris berpandangan bahwa pengetahuan manusia dapat
diperoleh melalui pengalaman. Hume seperti layaknya filosof Empirisme lainnya
menganut prinsip epistemologis yang berbunyi, “nihil est intelectu quod non antea fuerit in sensu” yang berarti,
“tidak ada satu pun ada dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu terdapat pada
data-data inderawi”.
Menurut Hume, dalam budi kata tidak ada suatu ide yang
tidak sesuai dengan impression yang dikarenakan “hal” di luar kita. Apa saja
yang merupakan pengetahuan itu hanya disebabkan oleh pengalaman. “Hal” nya
sendiri tak dapat kita kenal, hanya mendapat impression tersebut. Adapun yang
bersentuhan dengan indera kita adalah sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut.
Substansi itu hanya anggapan
(khayalan), sebenarnya tak ada. Penyebab kita mempunyai pengertian tentang
sesuatu yang tetap (substansi) itu, tidak lain karena adanya perulangan
pengalaman, sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal,
tetapi sebetulnya tidak demikian.
Begitu pula pengertian lainnya yang tetap dan umum
semuanya tak ada halnya. Kita tak mengetahui kesebaban, yang kita kenal hanya
urut-urutan kejadian, misalnya : pukulan dan kemudian kita rasa sakit. Oleh
karena itu, kita kerap kali merasa sakit setelah ada pukulan, kemudian ada
asosiasi antara pukulan dan sakit mengatakan bahwa yang menyebabkan sakit itu
pukul. Namun sebenarnya tidak demikian. Itu hanya anggapan kita saja.
Sebagai tokoh empirisme, Hume tidak mengakui hukum sebab akibat
(kausalitas). Dalam hukum kausalitas pada umumnya ada anggapan bahwa
penyimpulan dari masalah-masalah yang nyata didasarkan kepada hubungan sebab
akibat.
Hubungan sebab akibat, menurut Hume, didapatkan berdasarkan
kebiasaan dan harapan belaka dari peristiwa-peristiwa yang tidak berkaitan satu
sama lain. Orang sudah terbiasa di masa lalu melihat peristiwa matahari terbit
di Timur selalu diikuti oleh peristiwa tenggelam di Barat dan ia akan
mengharapkan peristiwa yang sama terjadi di masa yang akan datang.
Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi
pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat apriori seperti
ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada, namun menurut Hume,
itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa
bertambah lewat pengamatan empiris atau secara aposteriori.
Rasionalisme
Secara
etimologis, rasionalisme berasal dari kata rationalism (bahasa Inggris),
yang merupakan akar dari kata ratio (bahasa Latin) yang berarti “akal”. Menurut A.R. Lacey, rasionalisme adalah sebuah pandangan
yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang
berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia
menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul
atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Para tokoh
rasionalisme, pada abad ke-17 terdapat beberapa tokoh
kenamaan seperti René Descartes, Gottfried Wilhelm von Leibniz, Christian Wolff
dan Baruch Spinoza. Sedangkan pada abad ke-18, terdapat nama-nama
seperti Voltaire, Diderot dan D’Alembert.
Pokok pemikiran Descartes (31 Maret 1596
- 11 Februari 1650) adalah bahwa
akal merupakan satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Di dalam buku Discourse
on Method, dia mencoba untuk sampai pada pokok dari suatu asas atau pemikiran
dasar. Untuk menerima itu, dia menggunakan sebuah metode keraguan atau “dubium
methodicum”. Dia menolak semua pemikiran yang bisa diragukan, termasuk
eksistensinya sendiri, diragukan pula olehnya. Selanjutnya, dia membangun
kembali pemikiran itu untuk mendapatkan dasar yang kuat untuk pengetahuan yang
murni. Pada awalnya, Descartes sampai pada satu prinsip dasar, yaitu berpikir
ada. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia pun ada.
Ungkapan ini lebih dikenal dengan cogito ergo sum, aku berpikir maka aku
ada.
Descartes berpandangan bahwa segala
yang inderawi dapat menipu, dengan kata lain tidak bisa dipercaya. Misalnya,
sebuah sedotan yang dimasukkan ke dalam gelas berisi air. Sedotan tersebut
nampak bengkok, namun kenyataannya sedotan tersebut masih lurus – lurus saja.
Oleh karena itu, kaum rasionalis berpendapat bahwa kebenaran maupun ilmu
pengetahuan yang sejati adalah yang berdasarkan pemikiran, penalaran dengan
akal sehat (rasio).
Sumber :
(http://gmnifia.multiply.com/journal/item/16/Filsafat_Empirisme)
(en.wikipedia.org/wiki/Empiricism)
(http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/56/54)
(http://filsafat.kompasiana.com/2011/03/26/rasionalisme-empirisme-dan-kritisisme/)
No comments:
Post a Comment