JAKARTA
– Apa yang akan terjadi jika dunia dibiarkan
tanpa hak cipta? Para penulis dan pencipta serta pelantun lagu bebas berkarya,
tapi barangkali hanya akan seperti para seniman jalanan, mereka mengemis lewat
ember-ember apresiasi di pinggir jalan.
Indonesia mengadopsi konsepsi hukum hak cipta
sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Namun hingga kini yang memprihatinkan
ialah penegakkan hukumnya lemah. Demikian pula kesadaran publik terhadap karya
seseorang begitu rendah.
Lihat saja, bagaimana para mahasiswa lebih suka
memfotocopy buku daripada membelinya di toko buku. Deputi fasilitasi HKI dan
Regulasi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia, Ari Juliano Gema menelusuri,
ada tiga alasan utama yang selalu dikemukakan.
“Pertama, harga. Katanya terlalu mahal. Kedua,
distribusi. Seringkali buku yang dibutuhkan belum beredar di daerah mereka atau
sudah habis. Ketiga yang paling berat adalah, sifat kecanduan masyarakat pada
bahan bajakan itu sendiri,” urai Ari kala menjadi pembicara dalam sesi bertajuk
‘Hak Cipta sebagai Fondasi Industri Kreatif’ di ajang Indonesia International
Book Fair (IIBF) 2017 di Merak Room 2, JCC Senayan, Jakarta pada akhir pekan
lalu.
Ari mengakui, memang ketiga alibi di atas masih
menjadi pekerjaan rumah (PR) yang perlu pihaknya selesaikan. Tentunya dengan
mengandalkan dukungan dari berbagai pihak, seoerti pelaku industri kreatif juga
masyarakat dan aparat penegak hukum.
Sebagai salah satu contoh upaya yang sudah dan
terus dilakukan sejauh ini, ialah menutup situs-situs digital yang terindikasi
lalu terbukti membajak karya kreator Tanah Air. Ari mengungkap, seringnya
laporan yang masuk baru dari para penghidup industri seni musik. Belum banyak
penerbit dan penulis yang melaporkan bukunya dibajak oleh situs tertentu.
“Beratus-ratus situs pembajakan lagu yang
dilaporkan, sudah kami bantu sampaikan ke Kementerian Komunikasi dan
Informatika untuk diblokir. Jika dari industri perbukuan ada yang perlu
memerangi pembajakan di dunia digital begini, silakan mengadu dan akan kami
bantu,” tambahnya.
Dalam upaya memerangi pembajakan di situs
digital, Ari mengungkap, kuncinya sederhana. Sebagaimana kita tahu, situs di
dunia maya menggantungkan hidup pada pemasukan iklan. Dari mana datangnya
iklan? Jelas dari banyaknya klik ke situs tersebut.
Maka dari skema itu saja, Ari percaya bisnis
pembajakan di era digital bisa dimatikan. Tak lain, caranya dengan memangkas
pasokan finansial ke situs itu. Bekraf pun mengedepankan sosialisasi pentingnya
menghargai hak cipta dan memerangi pembajakan sebagai upaya lanjutan.
Sayangnya, candu gratisan masyarakat Indonesia masih menyuburkan situs serupa.
Perjanjian
Bilateral
Pada kesempatan yang sama, Ketua Perkumpulan
Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI) Kartini Nurdin menekankan, sejatinya apabila
para pelaku industri kreatif berhenti berkarya, yang rugi adalah para penikmat
itu sendiri. Terbayang dunia yang muram tanpa hiburan.
Oleh karena itu, PRCI hadir untuk menjalankan
mandat dari para penerbit dan penulis yang tergabung di dalamnya. Perempuan
yang juga menjabat General Manager Yayasan Obor Indonesia itu memaparkan
beberapa upaya yang sudah timnya lakukan.
Upaya pertama dengan menghubungi para rektor
dan pejabat berwenang di universitas se-Nusantara. Kartini dan kawan-kawan
meminta para pendidik di perguruan tinggi melarang mahasiswa-mahasiswinya
membajak tanpa membayar royalti.
“Prinsipnya, silakan saja memfotocopy sebagian
isi buku untuk keperluan belajar. Tapi ingat untuk membayar royalti, Rp. 10.000
saja per orang untuk setahun,” beber dia.
Kendati permintaan tersebut dipandang Kartini
sangat mudah dan murah, tetap saja banyak universitas masih mangkir dari
tanggung jawab tersebut. Seperti di Universitas Indonesia, para dosennya sudah
setuju menerapkan hal itu, tetapi ketika ditagih uangnya oleh PRCI, hasilnya
nihil.
Kartini menjelaskan, penanggulangan serupa
dikejar hingga ke luar negeri melalui perjanjian bilateral. Ia bersyukur,
penegakkan hukum di luar negeri lebih dapat diandalkan. Tercatat, sejauh ini,
teknik pemungutan royalti dengan cara itu sudah dikutip dari Singapura, Jepang,
Hong Kong dan Korea Selatan.
“Jadi harapan kami. Dengan pengutipan begini,
tidak ada alasan lagi beli buku mahal, atau buku enggak ada di pasaran. Uang
yang dikutip walau jumlahnya sedikit, akan kami distribusikan ke penerbit dan
penulis. Ini sebagai simbol penghargaan terhadap karya mereka,” ujarnya.
Turut hadir dalam diskusi ini, musisi kondang
Indonesia Candra Darusman. Dia memaparkan hak cipta secara lugas lewat buku
perdananya, ‘Perjalanan Sebuah Lagu: Tentang Penciptaan, Perlindungan dan
Pemanfaatan Lagu’.
Buku yang secara lengkap mengulas masalah dan
solusi penegakkan hukum hak cipta itu, pada kesempatan yang sama, mendapatkan
apresiasi langsung dari Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia,
Triawan Munaf. Bahkan, dia meyakinkan hadirin bahwa buku tersebut seperti
pencerahan yang sangat membantu meringankan pekerjaan rumah (PR) Bekraf.
Oleh karena itu, Triawan tak sungkan mengakui
bahwa buku itu diadopsi oleh Bekraf untuk menjadi pegangan. Ia juga
merekomendasikan buku tersebut kepada khalayak luas guna mendapatkan pemahaman
yang lebih mudah tentang pentingnya hak cipta.
“Begitu buku ini dilahirkan Candra Darusman,
bagi kami ini bak hikmah yang membantu
mencairkan tugas kami, yang kalau boleh saya katakan memang (Bekraf) terlambat
untuk hadir. Banyak elemen yang perlu dikaji ulang secara kelembagaan dan saya
belajar banyak dari buku ini,” sanjungnya.